Dalam Senyum dan Rindu yang Sama
“Mencintailah seperti awan. Yang membebaskan siapapun untuk melihatnya
sebagai domba, kapal, pesawat, dan lain sebagainya. Namun tetap setia
meneduhkan dengan bayangannya.” - R. Braja Restu.
Setiap orang pasti memiliki kisah
mereka masing-masing. Mungkin sebagian dari mereka sudah melupakan kisah-kisah
mereka di bangku Sekolah Dasar, namun tidak bagi saya dan teman-teman. Saya
mungkin satu dari sekian banyak orang yang beruntung karena saya masih ingat
betul perjalanan saya bersama dengan mereka dan dapat berkumpul kembali dengan mereka di
awal masa liburan ini. Kesempatan yang langka untuk bisa berkumpul dengan mereka
dalam sebuah senyum dan rindu yang sama. Inilah kisah sederhana itu dimulai
kembali di awal pertengahan bulan Juni ini….
Liburan telah tiba, namun sebagian
teman masih sibuk dengan ujian akhir mereka. Rencana itu hadir begitu saja di
mana saya dan seorang teman mempunyai
sebuah misi untuk menyambut sahabat lama yang akan melanjutkan studinya ke
tingkat yang lebih tinggi. Ya, dia memang ingin melanjutkan dan memperdalam studinya di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. Kami memang merencanakan sebuah pertemuan sederhana,
tidak ada kembang api, dan tidak ada sambutan-sambutan meriah untuknya, namun hanya sebuah acara makan-makan sederhana. Setiap
kali berpikir, kami pasti ingin menyebarkan kabar gembira ini ke seluruh teman
yang lain. Sulit memang untuk mengundang lebih banyak teman. Kami yang tadinya
terdiri dari 32 individu, namun yang hadir hanya 5 individu termasuk salah
seorang sahabat lama kami. Hal itu tidaklah menjadi penghalang untuk
persahabatan kami ini.
Di sana, ya di sana. Kami kembali
menginjakkan kaki di sana, di sebuah bangunan SD yang bernama SD Karitas Nandan Yogyakarta. Di sanalah kami pernah menempuh 6 tahun
lamanya belajar bersama, mengenal karakter masing-masing dan memahami setiap
individu. Percakapan pun dimulai ketika waktu sudah beranjak semakin sore, beberapa teman mulai
datang. Saling menunggu satu sama lain dan bertukar cerita tentang kehidupan
kami yang sekarang; di bangku kuliah. Tempat itu memang sangat istimewa bagi
kami, di sana nama kami terkenal, menjadi bintang kelas dan persahabatan mulai
tumbuh di antara kami.
Sebuah senyum itulah yang menyambut
kami untuk menjadi pribadi yang saling mamahami dan menghargai satu sama lain. Perbedaan di antara kami telah menyatukan kami
menjadi sebuah keluarga kecil. Keluarga yang bersatu meskipun dalam jarak yang
berbeda namun dalam rindu yang sama.
Rasa-rasa itu muncul ketika
masing-masing dari kami dapat melihat wajah-wajah itu kembali. Wajah-wajah yang
menghiasi kehidupan ketika kami berproses di tempat itu. Di sanalah saya yang
berada di antara mereka benar-benar merasakan bahwa keluarga itu ada, keluarga
yang sempurna yang datang dari beragam suku dan budaya, agama dan latar
belakang mereka.
Ungkapan syukur itu hadir karena kami telah dipertemukan
kembali meski dalam sebuah kesederhanaan. Wajah-wajah yang kini sudah mulai
dewasa, wajah-wajah yang kini sudah mulai merasakan beban hidup masing-masing
seolah terbayarkan dengan sebuah senyum yang sama ketika kami bersama.
****
Hidangan sederhana sudah ada
dihadapan kami. Menikmati bersama diiringi gemericik air yang mengalir menuju
ke sebuah kolam, dihiasi lampu remang-remang kala itu
telah menyala tanda hari mulai gelap, dan duduk bersila bersama di sebuah tikar
plastik. Perbincangan dimulai. Ledak tawa dan saling ejek pun kembali
mengingatkan kami di masa-masa SD yang kurang lebih 7 tahun yang lalu kami lulus dari sana.
Konflik-konflik kecil yang pernah terjadi di antara kami pun seolah terlupakan
dan tergantikan oleh kehadiran seorang sahabat lama kami.
Waktu memang berjalan begitu cepat,
seolah enggan berlama-lama dengan kami. Seiring berjalannya waktu, kami semakin
meghargai dan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk segera bergegas menyusun
rencana di masa depan. Sebelum perpisahan itu kembali terjadi, ada beberapa
dari kami yang dengan sengaja berkata, “Nanti
kalau kamu sudah jadi Romo, kamu harus berkati salah seorang dari kami.”
Mendengar perkataan itu, dia lantas
menjawab, “Kalian nanti pasti menikah
terlebih dahulu. Aku belajar di Serikat Jesuit kurang lebih 13 tahun. Kalian
sudah berusia 32 tahun.”
Saya kemudian menanggapi, “Ya sudah, nanti kamu baptis saja anak-anak
kami, kalau tidak malah berkati mereka.”
Suara tawa kami kembali meledak
setelah perbincangan itu selesai.
Sebelum kami memutuskan untuk pulang,
kami menyempatkan untuk bertanya-tanya tentang kehidupannya kedepan. Rasa sedih memang muncul kembali ketika ia juga berkata, “Nanti selama 2 tahun, aku tidak akan ada
kontak dengan kalian. Kalaupun ada, itupun hanya satu kali aku berkirim surat
ke orang tua dan mereka membalasnya satu kali.”
Dengan kompak, kami menyebutkan
nama-nama teman kami di bangku Sekolah Dasar waktu itu. Sebanyak 32 nama sudah
berhasil kamu susun sesuai dengan nomor absen mereka masing-masing. Kembali,
seorang teman berkata,
“Kapan
kita bisa berkumpul seperti ini lagi terutama 32 nama yang ada di daftar ini?
Lima tahun lagi bagaimana? Berani?”
Dengan spontan saya menjawab, “Oke kalau 5 tahun lagi. Kalian nanti sudah
jadi Presiden Direktur, sudah jadi Frater, sudah bekerja di Microsoft, bekerja di
Game Loft, dan aku nanti jadi Dosen.”
Kami mengamininya bersama-sama.
Tanpa terasa waktu telah larut, kami berpamitan. Satu demi satu dari kami
saling memberi dukungan untuknya. Pada akhirnya deru motor kami
bersahut-sahutan sebagai tanda perpisahan sederhana yang menggembirakan ini.
Alumni SD Karitas Nandan Yogyakarta 2007
(dari kiri ke belakang) Robertus Kristianto Wicaksono, Gerardo Adhitya Nugroho, Elisabeth Nasa Sari, Maria Ardianti Kurnia Sari, dan Raymondus Braja Restu
“Berjuanglah bukan hanya karena engkau merindukan garis finish. Tapi juga
karena engkau mencintai terjal dan likunya perjalanan.” – R. Braja Restu.
-----oo00oo-----
-Die Amateur Schriftstellerin-