JogJakarta: “The Journey, New Life, and Reunion”


Malam itu malam Sabtu pukul 19:30 WIB. Sebuah taksi sudah menantiku dan kedua orangtuaku di depan rumah. Setelah semuanya siap, kami bertiga kemudian menuju ke Stasiun Tugu. Ini mungkin menjadi hal menarik karena aku baru pertama kali naik kereta api. Kemanakah tujuan kami? Jakarta. Jawaban yang cukup singkat bukan? Ini juga merupakan pertama kalinya aku akan menginjakkan kaki di Ibukota Indonesia itu. Kata orang, Jakarta memang kota metropolitan yang tak pernah mati dan selalu aktif 24 jam. Kami pergi ke sana untuk menghadiri pernikahan seorang Om Ispry yang merupakan adik dari ibuku.

Keramaian di malam hari itu begitu jelas terlihat di kanan-kiri jalan. Jogja, memang selalu dirindukan oleh banyak orang. Di Stasiun Tugu, akhirnya aku dan kedua orangtuaku menginjakkan kaki di sana. Hawa dingin sudah menyambut kami di sana. Mendengar peluit panjang tanda kereta api sudah siap untuk melaju ditengah besi yang panjang. Setelah check in, kami menunggu di ruang tunggu. Keramaian di dalam stasiun dan pemilik kios berusaha untuk menawarkan barang dagangannya. Silih berganti kereta api datang dan pergi hanya sekadar mampir ataupun menurunkan penumpang dan barang. Orang-orang berlalu lalang melintas di depan kami dan menyaksikan kesibukan mereka di malam hari.

Kulihat jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 20:30 WIB. Kereta api dari arah timur datang menghampiri. Senja Utama. Tulisan itu nampak di badan kereta api tersebut. Sebuah kereta api yang akan mengantarkanku dan kedua orangtuaku untuk membelah perjalanan menuju Jakarta. Di gerbong pertama, aku menaruh barang bawaanku. Kulihat jendela di sisi kanan hanya terlihat lampu-lampu jalan dan gelap di luar sana. Tak lama menunggu, perjalanan dimulai. Mesin lokomotif mulai bekerja keras untuk perjalanan selama tujuh jam lamanya.

Jakarta, itu yang terlintas di dalam pikiranku. Seperti apa suasananya? Akan kah sama dengan Jogja? Ketika aku menyaksikan berita di televisi, kota ini Nampak begitu sibuk dan macet di pagi hari. Aku berusaha memejamkan mata namun tak bisa, aku membuka novela
Jonathan Livingston Seagull karya Richard Bach yang sengaja aku bawa dari rumah. Aku membuka halaman pertama dan membacanya sedikit. Ternyata cerita itu menceritakan seekor burung camar yang mencari jati dirinya dan terus berlatih supaya ia bisa terbang dengan kecepatan maksimum. Sejenak aku berpikir mungkin inilah sebuah perjalanan kehidupan seseorang.

Bosan, itu yang aku rasakan selama perjalanan. Ibuku sudah terlelap di sampingku sedangkan aku masih saja belum bisa memejamkan mata. Kulihat lagi jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 23:30 WIB. Apa? Tak biasanya aku belum mengantuk.

Senja Utama terus melaju dengan begitu cepat. Suara lokomotif terdengar begitu jelas. Terkadang suara itu menjadi lirih karena kereta api harus berhenti di stasiun yang dilewatinya. Kutengok sisi jendela yang gelap dan hanya ada cahaya remang-remang yang terlihat di sana. Kembali kupejamkan mata dan berusaha tidur karena besok pagi pasti akan lelah.

***

Pukul 5:00 WIB, bapak membangunkanku. Kami sudah sampai di Stasiun Bekasi. Di sana kami turun karena dijemput oleh Om Dodo, sepupu dari bapak yang nanti akan mengantarkan kami menuju Jakarta Timur. Sepagi itu siapa yang sudah bangun? Pasti mereka sedang asyik tertidur pulas dan menarik kembali selimut mereka. Cukup dingin, itu yang aku rasakan ketika menginjakkan kami di Bekasi. Situasi di jalan raya pun sudah terlihat jelas, sepagi itu sudah ramai? Jauh berbeda dengan di Jogja yang masih lengang.

Om Dodo memang tinggal di Bekasi, tepatnya di Grand Wisata Bekasi. Area yang sangat luas dan begitu jelas kalau penggambaran itu bukanlah di Jogja. Sampai di rumah beliau, kami langsung bergegas untuk mandi karena acara akan dimulai pada pukul 7:00 WIB. Santapan soto Jawa Timuran menyambut kami di meja makan. Hanya kami bertiga dan Om yang kala itu ikut menyantap santapan pagi itu. Sepupu-sepupuku yang lain masih terlelap karena mereka memang libur di hari Sabtu.

Sesegera mungkin kami menuju Matraman, Jakarta Timur. Om Dodo mengeluarkan GPS yang beliau miliki untuk menuntun perjalanan kami menuju Jakarta Timur. Kendaraan-kendaraan besar berlalu lalang di kanan-kiri mobil yang kami tumpangi. “Luas benar daerah ini,” dalam hati aku berkata.

Di samping kiriku sudah duduk istri dari Om Dodo. Di tengah perjalanan, beliau bertanya, “Kamu kuliah di jurusan apa dan semester berapa?”

Aku menjawab, “Kuliah di PBI Sadhar Tante, semester 3.”

“Wah saya dulu juga alumni PBI.”

Cocok. Hahahaha,” kembali aku berbicara dalam hati.

“Besok kalau sudah lulus kuliah, kerja aja jadi guru di Bekasi. Lowongan kerja untuk jurusan bahasa Inggris pasti banyak. Nanti kamu bisa bekerja di sekolah anak saya.”

Wow… tawaran yang menggiurkan pikirku. Itu hanya masih imajinasi. Memang suasana di Bekasi lebih enak daripada di Jakarta, namun kalau sudah siang kedua kota ini tak jauh berbeda akan tingkat kemacetannya.

Kami sudah memasuki kawasan Jakarta Timur. Namun kembali Om Dodo kebingungan ketika membaca denah lokasi pernikahan Omku itu. Beliau bertanya ke salah seorang penjaja koran di manakah letak gedung DISBINTALAD, namun penjaja koran tersebut juga tidak tahu. Di kiri jalan terpasang tiga buah janur kuning, tanda ada tiga buah pernikahan yang dilaksanakan di Jakarta Timur. Istri Om Dodo kemudian turun dari mobil dan bertanya pada salah seorang pemuda yang saat itu terlihat sedang memasang janur. Ternyata dari janur-janur tersebut ada nama orang yang akan menikah, setelah menemukan nama yang kami cari mobil kemudian berbelok ke arah kiri.

Gedung DISBINTALAD sudah Nampak di depan mata, di sana pesta itu dilaksanakan. Aku melihat ada raut ketegangan di wajah Om Ispry yang akan menikah itu. Mungkin beliau sedang menghafalkan apa yang akan dikatakan saat ijab qobul. Hihihihi……

Satu persatu saudara jauh mulai berdatangan. Menghantarkan Om Ispry menuju meja ijab qobul. Penghulu sudah hadir dan dengan lantang Om Ispry menyatakan ketersediaannya untuk menikah. Keren! Itu yang terlintas dalam benakku. Sebuah perjalanan hidup baru dan keluarga yang baru.

Pesta kemudian dilanjutkan dengan menggunakan adat Jawa karena ayah dari istri Om Ispry merupakan orang Jogja.
Suasana itu tidak jauh berbeda seperti di Jogja, nuansa Jawa dan adat istiadatnya. Mungkin sebagian dari mereka akan berpikir, “Apa sih artinya?” Bak raja dan ratu dalam sehari, para tamu undangan semakin lama semakin memadati Gedung DISBINTALAD. Keluarga-keluarga berkumpul menjadi satu. Saling menyapa, bersalaman, dan bercengkerama. Sebagian dari mereka aku tidak kenal karena mereka tinggal di Jakarta, bukan di Jogja.

Semakin siang kami semua berkumpul di halaman depan gedung. Saling mengingat memori masa lalau yag masih tergambar jelas di dalam benak mereka. Diam-diam aku mengeluarkan potret untuk mengabadikannya. Tawa dan canda menghiasi seharian itu.

Pesta telah usai. Keluarga baru dan hidup baru tergambar jelas dalam pesta sehari itu. Lambaian dan jabat tangan mengantarkan pada perpisahan di hari itu. Kembali pada rutinitas biasa dan kembali ke rumah masing-masing. Doa dan ucapan mengalir dan saling menguatkan satu sama lain.

***

Sore hari datang dengan cepat. Sore hari di Jakarta Timur batinku lagi. Setelah mandi kami memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar penginapan. Melihat keramaian kota Jakarta di Sabtu sore. Motor dan mobil memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sesekali nampak pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan helm untuk keselamatan mereka, sungguh disayangkan.

Hari mulai petang dan setelah Maghrib kami semua berencana untuk bertandang ke rumah orangtua dari istri Om Ispry. Sambutan hangat kembali menyambut kami di rumah yang sederhana itu. Tegur sapa dan senyuman menghangatkan suasana di antara kedua keluarga yang telah bersatu. Selain itu kami juga bertujuan untuk berpamitan pulang ke Jogja. Memang di Jakarta selama sehari sangat melelahkan, kapan bisa datang ke sini lagi? Tanyaku dalam hati.

Sebelum menuju ke Stasiun Pasar Senen, kami yang diantar oleh teman dari Om Ispry diajak untuk menikmati seperti apakah suasana Jakarta di malam hari. Ramai, itu sudah jelas. Beliau mengantarkan kami untuk melihat Tugu Tani di mana pernah ada kecelakaan yang menewaskan tujuh orang, Monas, Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, dan tak lupa Istana Negara. Meskipun hanya sepintas untuk menikmatinya, aku merasakan suasana Kota Jakarta yang begitu aktif di malam hari.

Stasiun Pasar Senen adalah tujuan kami selanjutnya. Di sana kembali aku menikmati suasana malam yang ramai. Banyak orang berlalu lalang dengan kesibukan mereka masing-masing. Wajah-wajah lelah dan mengantuk sudah tampak di wajah mereka. Seakan mereka semua berpikir akan hal apa yang akan dilakukan esok hari. Inilah kehangatan sebuah keluarga besar.

Kereta pukul 21:55 WIB. Kereta ekonomi AC Bogowonto akan mengantarkan kami untuk kembali menikmatinya nyamannya hati Jogjakarta. Ditengah perjalanan aku melihat ke sisi kiri jendela. Sepintas terlihat kembali Stasiun Bekasi yang tadi pagi aku datangi sebelum pergi ke Gedung DISBINTALAD. Susu kotak Ultra rasa cokelat dan roti cokelat 7-eleven menemaniku ditengah perjalanan pulang ke Kota Pelajar dan Kota Gudeg itu. Tampak mereka semua sudah tertidur pulas di kursi masing-masing, bermimpi akan apa yang mereka inginkan.

Pukul 6:30 WIB, Kota Jogjakarta dan Stasiun Tugu telah menyambut kedatangan kami kembali. Sungguh perjalanan, kisah hidup baru, dan reuni keluarga yang luar biasa. Mungkin hal ini akan terjadi lagi entah berapa tahun lagi. Tepat di depan Stasiun Tugu Jogjakarta, kami juga harus berpisah. Aku pulang dengan kedua orangtuaku dan saudaraku yang lain pulang bersama simbahku ke Kota Bantul. Matahari bersinar dengan cerahnya seakan mengingatkan bahwa esok hari adalah hari Senin. Hari yang mengingatkan kami akan rutinitas dan kesibukan masing-masing.


JogJakarta, 6 September 2014
-Die Amateur Schriftstellerin-

Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

Doa Harian Ibu Teresa