Puncak Bromo dan Satu Kejadian Tentang Kita


Bromo, Januari 2018…

Jam tangan tepat menunjukkan pukul 5.30 pagi. Horizon mulai menunjukkan semburat jingga berbaur dengan warna merah. Aku berdiri menikmati sunrise di sini tidak sendirian, di sisi kananku, tampak siluet dari seseorang yang menemaniku hingga sejauh ini, ke Puncak Bromo di awal tahun 2018 ini.

Ia mendekat dan di saat itulah aku teringat akan sebuah dialog sederhana dalam film Negeri van Oranje, dialog yang diucapkan Lintang kepada Wicak. Akupun melontarkan dialog itu padanya, “Kalau misalnya tiba-tiba kamu lupa sama namaku, kamu mau panggil aku apa?”

Dan jawaban itu membawaku pada kejadian di masa lalu…
***

Perjumpaan, 2008…

Kisah ini bermula dari sebuah perjumpaan yang telah lama terabaikan. Aku mengenalnya sejak duduk di bangku kelas 8. Sebenarnya perjumpaan pertama ini adalah perjumpaan yang bisa dikatakan antara sengaja atau takdir, dan tidak sengaja. Tepat saat itu, Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang membawaku untuk menatap matanya pertama kali. Tiga orang; aku, dia, dan satu lagi teman perempuanku ditunjuk sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti olimpiade ini. Kaget? Tentu! Aku yang selama ini tidak begitu cerdas di bidang Matematika pun justru ditunjuk untuk mengikuti olimpiade Matematika. “Apa? Olimpiade?” tanyaku kaget, “Tapi… tapi… Pak!” “Kamu bisa! Nilai Matematikamu saja bagus,” begitu kata guru Kimiaku. Aneh memang, batinku.

Ia yang hanya tersenyum. Senyum manisnya berhasil menghalangi hitungan Matematika di dalam otakku. Ia ditunjuk untuk mengikuti olimpiade Fisika, sedangkan teman perempuanku mengikuti olimpiade Biologi. “Kok bisa sih si Bapak nunjuk kita ikut OSN ini?” protesku saat selesai olimpiade. “Entah, aku juga heran kenapa aku juga disuruh. Fisika pula!” jawab Teman Olimpiadeku, begitu aku memanggilnya. “Kamu gimana Re? Biologi kan mudah bagimu.” Rere hanya menjawab dengan senyum ragu ketika aku menanyakan hal itu padanya. Sejak perjumpaan pertama itulah, aku dan Teman Olimpiadeku saling mengenal dengan akrab. 

Di kelas 8, aku dan Teman Olimpiadeku belajar di kelas yang berbeda. Kelasku di lantai dua dan kelasnya di lantai satu. Setiap kali aku pergi ke kantin di saat jam istirahat atau pergi ke kamar mandi, aku selalu menengok ke arah kelasnya untuk mencari sosok itu, dan begitupun berlanjut hingga pada akhirnya ada sebuah kejutan di saat kenaikan kelas 9.
***

Kelas 9, Juli 2009…

Kelas 9, itu artinya tinggal satu tahun lagi aku berada di sekolah ini. Kelas baruku terletak di lantai dua, lebih tepatnya lagi berada di paling ujung lantai dua. Hari pertama masuk sekolah, belum resmi belajar karena para guru sedang sibuk dengan kegiatan orientasi sekolah untuk siswa baru. Di kelas 9 ini, seperti saat di kelas 7 dan 8, aku memilih untuk duduk di dekat jendela, biar dingin, pikirku.

Aku melihat sekeliling kelas baruku. Masih tercium aroma cat baru pada bangku-bangku di kelas, papan tulis masih berwarna putih bersih karena belum tersentuh board marker, dan ketika aku sibuk mengamati hal baru di kelas baru, tiba-tiba saja ada seseorang menyapaku dari belakang, “Hallo!” aku menoleh seolah tidak percaya, dia… Teman Olimpiadeku? Sekelas dengannya? Dan di sinilah aku mulai mengenal akrab sosoknya.

Hari terus berganti. Aku semakin mengenal teman-temanku di kelas, terutama sainganku di kelas, Teman Olimpiade dan Niko si juara kelas. Niko, adalah sahabat karib Teman Olimpiadeku. Ia begitu jago Matematika terutama ketika mengerjakan soal Matematika di depan kelas. 

Aku, Niko, dan Teman Olimpiadeku selalu saja bersaing. Kami selalu menduduki peringkat tiga besar di kelas dengan urutan Niko si juara kelas, Teman Olimpiadeku peringkat dua, dan aku di peringkat tiga. Aku menyerah melawan dua teman laki-lakiku itu karena aku tetap berada di posisi yang sama yakni di peringkat tiga. Aku menyukai Niko. Aku bahkan memberanikan diri untuk menghubungi Teman Olimpiadeku. Ia tahu banyak hal tentang Niko, tanya ini dan itu. Entah apa yang membuatku menyukai Niko, mungkin karena satu kejadian ketika ia berhasil menyelesaikan dua soal Matemtika tersulit di buku paket. Selain ia jago Matematika, ia juga jago berbahasa Inggris. 

Suatu hari ketika aku sedang tidak ingin menanyakan apapun tentang Niko, nama Teman Olimpiadeku muncul di layar ponsel ketika aku sedang mengerjakan tugas sekolah. Pesannya cukup singkat, sebuah pertanyaan, Kenapa kamu selalu panggil aku dengan sebutan Teman Olimpiade? Aku hanya tersenyum membaca pesan itu. Tentu saja aku memanggilnya begitu karena agar aku ingat satu kejadian kapan aku mengenalnya, sosok teman bercerita yang asyik sepertinya, yakni ketika olimpiade waktu itu, satu tahun yang lalu. 

Keesokan harinya, tepat pada saat jam istirahat, aku pernah mendengar sebuah percakapan antara Teman Olimpiadeku dengan salah satu teman akrabnya, “Kok Ar perhatian banget sih sama kamu? Jangan-jangan dia suka sama kamu!” aku hanya tersenyum mendengar percakapan itu, begitupun Teman Olimpiadeku yang juga tersenyum ketika ia melihat ekspresi wajahku setelah mendengar percakapan mereka dari bangku sebelah. 

Teman Olimpiadeku mengabaikan pertanyaan itu dan terus melanjutkan tugas Matematikanya. Hingga di hari yang sama aku megetahui kalau Niko mendapatkan ucapan selamat karena ia berhasil menyatakan perasaannya pada teman akrabku di kelas sebelah. Aku berlari menuju ke lapangan basket, men-dribble bola dan tidak berhasil memasukkannya ke dalam ring. Di sana aku mendengar suara langkah kaki orang berlari dan orang itu mulai berbicara, “Kamu itu jelas-jelas enggak bisa main basket kenapa sok nge-dribble bola sih?” Aku terus berlari menuju ke arah ring, mengabaikan kata-katanya dan di situlah aku terjatuh karena tali sepatuku terlepas dari ikatannya. 

“Dikasih tau ngeyel banget. Jatuh kan. Udahlah Ar. Sebentar lagi Ujian Nasional, fokus yuk!” Aku menangis sejadinya di pundak Teman Olimpiadeku. Membasahi bahu sebelah kirinya dengan air mataku, namun ia tetap membiarkanku menangis. Tanpa aku sadari, ada sosok lain yang menyaksikanku menangis di pundak Teman Olimpiadeku, ia adalah salah satu teman sekelasku yang menjadi sosok baru pengisi hidupku.
***

Kisah baru, Mei 2010…

Ujian Nasional telah berakhir. Ada banyak kisah yang telah aku ukir di sekolah ini, batinku, salah satunya tentang sebuah perjumpaan sederhana di masa lalu. Itu artinya… sebuah perpisahan akan mendekat, mengakhiri kisah lama dan mengawali kisah baru yang akan membawaku ke masa-masa berikutnya. Berpisah dengan Teman Olimpiadeku yang selama ini menjadi teman berkeluh kesahku. Hingga suatu waktu, aku pernah bertanya padanya, “Kamu enggak bosan apa setiap hari selalu ada aja yang aku ceritain?”

“Enggak. Sama sekali enggak. Aku seneng kalau ada yang percaya sama aku untuk menjadi perantara di antara kisah-kisah orang lain,” jawabnya ketika itu sehari setelah aku menangis di lapangan basket. Jawaban yang cukup sederhana dan berhasil membuatku tersenyum. Memiliki teman sebaik dia padahal kami berjumpa dan saling mengenal pun baru satu tahun terakhir.

Perpisahan. Sedih? Mungkin. Akankah aku bertemu dengan tokoh-tokoh itu? Tokoh seperti sosok Teman Olimpiadeku? Pikirku. Kami berpisah. Dan dari perpisahan itulah, aku menemukan kisah baru yang baru saja akan dimulai. Kisah yang begitu aku ingat sampai detik ini. Aku dan Teman Olimpiadeku masih saling berkomunikasi, masih saling bercerita meski hanya melalui media perantara. Kami masih berada di bawah langit yang sama, di kota yang sama, dan tentu saja di zona waktu yang sama. Hanya ada satu hal yang menjadikan itu sebuah penghalang, kesibukan masing-masing.

Setelah perpisahan itu, aku menemukan hal unik yang mungkin jarang orang lain temukan, yaitu setiap pagi ketika pergi ke sekolah, aku selalu melewati rumahnya. Yap! Sekolahku memang dekat dengan rumahnya, namun tak sekalipun ketika aku melewati rumahnya, ia keluar dari balik pintu bercat hijau tua itu, hingga akhirnya selama tiga tahun mengenyam pendidikan di bangku SMA, aku tidak pernah melihat sosoknya meskipun kami masih sering berkomunikasi. Ucapan selamat hari raya ataupun selamat ulang tahun selalu aku layangkan kepada Teman Olimpiadeku. Hingga suatu saat tepat di bulan Agustus tahun 2013, aku berjumpa lagi dengan salah satu teman sekelasku yang kala itu mengagetkanku ketika ospek mahasiswa baru di kampus, “Kamu udah enggak nangis lagi kan?” aku menoleh ke arah sosok tersebut. Emon! “Hai!” sapanya, “Denger-denger Niko juga kuliah di sini lho,” Emon berbisik di telingaku yang sontak membuatku merasa geli. “Nangis? Niko? Maksudmu?”

“Iya. Kejadian di lapangan basket empat tahun yang lalu.” Aku mencoba mengingat kejadian apa di lapangan basket empat tahun lalu. Ketika aku berhasil mengingatnya, ia kembali melanjutkan penjelasan singkatnya, “Kamu lari dari kelas setelah tau Niko menyukai anak kelas sebelah, lantas kamu lari ke lapangan basket. Teman Olimpiademu menyusulmu dan ia memberikan bahunya untukmu menangis. Aku ada di sana, sedang membaca buku dan mendengar percakapan kalian.” Sedetail itu dia tahu kejadiannya? Hebat! “Udah dulu ya. Aku mau cari kelompokku dulu,” Emon berlari mencari kelompoknya yang entah di mana. 

Singkat! Sejak saat itu, Emon adalah sosok pengganti dari Teman Olimpiadeku. Aku masih ingat satu hal di mana aku, Emon, dan Teman Olimpiadeku menjadi sahabat sampai sekarang. Mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Emon adalah sahabat yang selalu perhatian, sering panik, heboh, lucu, namun bijak. Sedangkan Teman Olimpiadeku memiliki karakteristik yang dewasa, bijak, dan santai namun memiliki senyum yang manis. Dua orang ini adalah sosok-sosok yang selalu ada ketika aku membutuhkan teman, meskipun jam pertemuanku dengan Emon lebih banyak dibandingkan dengan Teman Olimpiadeku.

Pernah suatu waktu, aku bercerita pada Emon dan Teman Olimpiadeku. Di masa-masa kuliah aku pernah menyukai satu orang laki-laki. Aku dan ia begitu akrab bahkan “pernah” terkena bidikan kameranya. Awalnya biasa saja, namun seiring berjalannya waktu, ia pernah mengatakan satu hal, “Kamu itu mirip sama… adik sepupu aku. Nih lihat fotonya,” begitu katanya antusias dan sejak saat itulah ia memanggilku “adik”. Ia, bisa dikatakan sebagai sosok kakak bagiku, namun di sisi lain aku juga menyukainya, tapi akankah ia mengetahuinya? Atau hanya sebatas kakak dan adik? Tanyaku dalam hati. Ia mengirimkan dua buah foto agar aku menuliskan sebuah caption untuk foto-fotonya. Beberapa foto dengan caption yang sesuai berhasil membawanya untuk menjuarai kompetisi fotografi. Setelah itu? Entah ia menghilang kemana. 

Ia… aku bertemu lagi dengannya, sosok “kakak” yang menghilang selama berbulan-bulan. Kali ini tepat di hari ulang tahunku, ia tidak hanya mengucapkan selamat padaku, namun ia juga membawa buket bunga mawar putih untukku. Mengapa ia hadir lagi? Tanyaku. Lagi-lagi dengan kamera mirrorless miliknya, ia mengabadikan momen itu, menatapku seolah aku tidak bisa mengedipkan mata untuk melewatkan senyumnya. Sejenak aku tersadar akan kata-kata Emon dan Teman Olimpiadeku untuk mengakhiri hubungan ini dengannya. Mereka benar, aku hanya dimanfaatkan olehnya. Hingga akhirnya ia memintaku untuk membantunya lagi, “Dik, aku mau minta tolong lagi. Caption, seperti biasa.” Aku memberanikan diri untuk menolaknya, ia sudah memanfaatkanku untuk kemenangan pribadinya, setelah itu pasti akan pergi begitu saja. “Kak, cukup! Bunga ini, foto-foto ini, salam dari kakak. Cukup! Aku bukan anak kecil yang bisa kau perdaya untuk ini dan itu.” Aku segera pergi, mengembalikan semua pemberiannya dan selesai sudah urusan ini. Aku tidak lagi membalas pesan-pesan darinya bahkan membacanya pun aku tidak mau lagi. Aku ingin fokus dengan skripsiku agar segera bisa melupakan sosok “kakak” yang aku temui di masa kuliahku ini.

Malam itu, di malam yang sama ketika aku sedang mengerjakan skripsiku, Emon memberi kabar kalau Teman Olimpiadeku akan ujian skripsi minggu depan. Ia mengajakku… dan aku masih belum menjawab ajakannya. Kalau dihitung sejak perpisahan itu, sudah tujuh tahun aku tidak bersua dengan Teman Olimpiadeku. Mungkin inilah saatnya aku bisa bertatap muka lagi dengannya.
***
 
Kisah tentang kita, September 2017…

Kado untuk Teman Olimpiadeku sudah di tangan, sebuah cangkir dengan potret dirinya ketika di Bromo. Mengapa cangkir? Ia pernah bercerita, “Aku enggak bisa minum es lagi. Amandelku kambuh nanti, Ar.” Cangkir. Secangkir minuman hangat untuknya akan menyelamatkannya dari siksaan amandel yang membengkak.

Tepat hari ini, hari kelima di bulan September, aku akan berjumpa lagi dengannya setelah tujuh tahun hanya menjalin komunikasi melalui media perantara. Aku hadir bersama Emon. Tanpa skenario, Emon berjalan di depanku. Aku mendengar percakapan yang mereka katakan ketika Teman Olimpiadeku telah berhasil ditemukan di antara kerumunan, “Sendirian aja Mon?” tanyanya.

“Enggak kok, berdua tadi,” Emon melirik ke arahku tepat di belakang posisi berdiri Teman Olimpiadeku. Apakah dia masih mengingatku? Seketika pikiran itu muncul dari kepalaku. Emon hanya mengangguk seolah ia tahu apa yang sedang aku pikirkan dan memberikan isyarat untukku agar ikut bergabung. Tidak ada pelukan karena aku sendiri masih merasa canggung. Kemana saja aku selama tujuh tahun ini? Sosok dihadapanku, Teman Olimpiadeku masih sama. ”Selamat untukmu Teman Olimpiadeku.” “Thanks Ar!’ ia menyambut jabat tanganku dengan erat dan senyuman yang mengembang itu masih sama. “Ini hadiah untukmu,” kuulurkan paper bag berwarna cokelat polos padanya. Ia, Teman Olimpiadeku, masih mengingatku dengan jelas dan memanggil namaku dengan jelas. Thanks to Emon! Kalau bukan karena dia, peristiwa ini tidak akan pernah terjadi. Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk dijelaskan.

Semburat senja di ufuk barat mulai terlihat jelas, menandakan matahari enggan berlama-lama menghiasi langit. Ada sebuah pesan masuk ke ponselku, dari… Teman Olimpiadeku… Makasih ya Ar cangkirnya. Kamu kapan nih nyusul? Ia sudah membuka hadiah itu. Kira-kira bagaimana ekspresi di wajahnya ketika membuka bungkusan itu?

Doakan saja aku segera menyusul ya, balasku. Teman Olimpiadeku… entah mengapa aku masih tidak percaya akan kejadian hari ini. Ia telah lulus. Empat tahun sungguh terasa cepat bak empat menit tanpa oksigen. Dari perjumpaan sederhana itulah, semangatku kembali membara, bulan depan tepatnya di bulan Oktober akhirnya giliranku menghadapi ujian skripsi.

Oktober 2017, bulan penantian selama empat tahun, nasib hanya akan ditentukan selama lima puluh menit di dalam ruang sidang. Aku menceritakan hal ini pada dua sahabat laki-lakiku. Jangan tegang. Istirahat aja biar enggak capek, Ar. Pesan singkat yang dikirimkan Teman Olimpiadeku memberikan ketenangan menjelang hari H.

Selamat ya! Kata teman-temanku yang lain sekeluarnya dari ruang sidang. Aku mencari-cari dua sosok laki-laki itu. Tak banyak berharap memang mereka akan datang. Namun… ada seseorang yang memanggilku dari belakang, Emon. Dia sendirian? Mana Teman Olimpiadeku? Tanyaku dalam hati. “Ini bunga dari Teman Olimpiademu,” begitulah katanya sambil tersenyum. Lantas aku mengikuti sudut matanya yang memberikan isyarat seolah ada seseorang di belakangku. Teman Olimpiadeku! Ia datang dan memberikanku satu kotak besar susu, biar tidak lapar saat revisi katanya. Aku langsung memeluknya erat dan senyum itu mengembang dari bibirnya. Manis sekali. Aku menerima susu kotak dan satu buket bunga gladiola merah jambu dari kedua sahabat laki-lakiku. “Habis ini kemana kita?” tanya Emon dengan wajah berseri-seri. “Makan yuk! On me,” ajakku. Teman Olimpiadeku mengangguk setuju dengan ajakanku.

Malam itu aku, Emon dan Teman Olimpiadeku merayakan kelulusan bersama. Keakrabanku dengan mereka pun masih sama seperti di dalam chat. Mengenal mereka lebih jauh tentu adalah hal yang istimewa bagiku. “Kan udah pada lulus nih. Gimana kalo kita liburan?” usul Teman Olimpiadeku sambil menyantap hot dog yang dipesannya. “Mau kemana kita?” tanyaku sambil mengarahkan pandangan ke wajah mereka. “Bromo!” cetus Emon. “Bromo?” sahut Teman Olimpiadeku. “Ayo ke Bromo! Kamu bisa jadi tour guide kita kan?” usulku pada Teman Olimpiadeku.

Dan lusa, Emon sudah memesan tiket perjalanan ke Bromo untuk awal tahun 2018.
***
 
Bromo, satu kejadian tentang kita, Januari 2018…

Puncak Bromo. Aku di sini bersama kedua sahabat laki-lakiku. Jam tangan tepat menunjukkan pukul 5.30 pagi. Horizon mulai menunjukkan semburat jingga berbaur dengan warna merah. “Aku cari spot foto di sebelah sana dulu ya Ar,” kata Emon antusias untuk mengabadikan momen sunrise. Aku berdiri menikmati sunrise di sini tidak sendirian, di sisi kananku, tampak siluet dari seseorang yang menemaniku hingga sejauh ini, ke Puncak Bromo di awal tahun 2018.

Ia mendekat dan mengarahkan kameranya kepadaku, menangkap momen istimewa dengan latar belakang sunrise di Puncak Bromo. Di saat itulah aku teringat akan sebuah percakapan sederhana dalam film Negeri van Oranje, dialog sederhana yang diucapkan Lintang kepada Wicak. Akupun melontarkan dialog itu padanya, “Kalau misalnya tiba-tiba kamu lupa sama namaku, kamu mau panggil aku apa?” “Apa ya? Perempuan yang dribble bola di lapangan basket tapi enggak pernah berhasil masukin ke ring.” “Enggak ada yang lain gitu?” “Cukup satu kejadian Ar yang aku inget. Cukup satu.” 

Senyum itu mengembang manis di bibirnya dan ia berjalan melewatiku sambil mengarahkan posisi kameranya ke sudut yang lain untuk memotret sunrise. “Kristo!” panggilku. Ia membalikkan badan dan saat itu kamera di tangannya berhasil mengambil potretku, “Terima kasih ya sudah sampai sejauh ini,” aku mendekatinya dan memeluknya. “Dengan senang hati, Ar,” ia mencium keningku. “Hey, malah ngapain? Ayo foto bareng!” teriak Emon tak jauh dari posisi kami berdiri. Saat Kristo sudah mengambil posisi untuk berfoto bersama, Emon merangkulku dari sebelah kanan. 

Dan dari satu kejadian di Puncak Bromo itulah, aku kini memanggil nama aslinya, nama asli dari Teman Olimpiadeku. 

 
Maria Ardianti Kurnia Sari
29.04.18



Special thanks to: 
1. My best inspirations: Bangkit Kristianto and Filemon Kristian Novarimawan.
2. CV. Jendela Sastra Indonesia yang telah mempublikasikan cerita ini dalam Sayembara Goresan Pena - Antologi Cerita Pendek “Mutiara Merindukan Kerang” Juni 2018.
3. Wallpaper Mount Bromo on https://stmed.net/wallpaper-154691



Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

Doa Harian Ibu Teresa