Recap 2019: Live your life to the fullest as it is not so urgent, but it can expire.





Ubud. Cinta, misteri, dan suasananya selalu menyimpan keindahan tersendiri bagi para penikmatnya. Senja di tanah Ubud mungkin enggak bisa teruraikan hanya dalam satu hari penantian, melainkan perlu berhari-hari untuk memahaminya. Enam malam di tanah Ubud, apa yang bisa aku ungkap di sini? “Jatuh cinta selalu tak sengaja. Jatuh di tanah Ubud, kata Sal Priadi. Apakah benar begitu? Ubud dan kisahnya. Ubud dan semua lelahku di tahun 2019. Serta Ubud dan pelarian kecilku, menikmati setiap detail cerita yang aku bawa dari Ubud dan hingga rasa penasaran itu pun masih terbawa hingga aku pulang ke Jogja… 

[Part 1]: Short escape in Ubud


Tahun 2019. Aku juga sebenarnya enggak pernah kepikiran untuk benar-benar keluar dari zona nyaman ini. Katanya, keluar dari zona nyaman itu akan membentuk pribadi kita dan mengenal diri kita sendiri, benar begitu? Kuliah S2 ya sibuk dan enggak bakal sempat untuk main ke luar daerah apalagi seminggu penuh. Sibuk ini itu sampai-sampai juga enggak kepikiran untuk escape. Bagaimana mau escape kalau membagi waktu aja enggak bisa? Aku memang sedikit memiliki masalah untuk membagi waktu untuk kegiatan A, B, C… karena apa ya… hmmm… fokus akan suatu hal dan kalau hal itu dibagi-bagi nanti enggak akan selesai. Tapi kalau hanya fokus pada satu hal, berarti juga enggak bisa multitasking, pikirku. Namun, celah itu ada. Celah untuk pelarian kecil yang mungkin enggak akan aku dapatkan di kesempatan lainnya.

Sebenarnya rencana ini sudah terpikirkan sejak tahun 2018. Masih rencana dan belum matang karena masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain. Tepatnya saat itu di bulan Oktober 2018. Sempat juga membaca salah satu portal berita yang memberitakan tentang sebuah event di Ubud yang bernama Ubud Writers and Readers Festival. Event seperti apa sih ini? Tanyaku saat itu.

Aku hanya sekadar tau aja ini adalah sebuah Festival Sastra tahunan, tapi untuk seluk beluknya… hmmm… kurang paham juga waktu itu. Aku sedikit lupa bagaimana komunikasi pertamaku dengan sepupuku, Ebby Tambunan, yang ketika itu ternyata ikut serta dalam kegiatan ini sebagai volunteer. Lalu di tahun 2018-2019 (setahun lah ya hahaha…) aku mencari informasi darinya tentang event ini. Komunikasi itu berlanjut sampai di akhir tahun 2018 dia menanyakan, “Tahun depan ikut UWRF (singkatan dari Ubud Writers and Readers Festival) kan? Kan kamu suka nulis tuh. Suka Sastra juga kan? Haruslah kamu ikut, Mar!” Masih berpikir juga berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk ikut acara keren ini. Hingga aku menceritakan keinginanku untuk ikut acara ini pada Ibuk. Awalnya Ibuk agak sedikit ragu, tapi setelah sering cerita kalau ingin ikut ya akhirnya direstui juga. Puji Tuhan! Hahahaha…

Selain aku, teman sekelasku juga sempat antusias untuk ikut, tapi hanya sebagai attendee. Ebby juga cerita kalau mau murah dan dapat akses istimewa ya mendingan jadi volunteer karena bisa bebas masuk acara Main Program selama empat hari penuh, ketemu tokoh-tokoh inspiratif dari belahan dunia. Hingga suatu hari menjelang pembukaan pendaftaran volunteer, aku semakin rajin untuk tanya-tanya sama Ebby, “UWRF itu gimana sih? Alurnya gimana? Daftar volunteernya gimana? Syaratnya apa aja? Asyiknya gimana? Akomodasi? Blablabla…” Untung aja sabar sekali lah sepupuku ini HAHAHAHA… 

Pembukaan pendaftaran volunteer dimulai. Aku iseng daftar dengan salah satu teman sekelasku. Menunggu kurang lebih satu setengah bulan menjelang pengumuman. Dan… ketika hari pengumuman, aku diterima menjadi salah satu volunteer untuk UWRF 2019 dan waktu itu aku diterima di bagian Main Program sesuai dengan keinginanku. Seneng iya, karena rencana dari tahun sebelumnya bisa tercapai di tahun 2019 ini. Reward buatmu atas kerja kerasmu setahun belakangan ini, kataku dalam hati. Jadi nih ke Ubud? Ke Bali lagi loh! Pikirku waktu itu. Temanku juga diterima saat itu, tapi sayangnya dia memutuskan untuk batal ikut karena suatu hal. Sendirian banget nih ke Bali? Nekat sebenarnya karena I know nothing with this event and who will become my group friends. Berbekal perkenalan singkat di grup volunteer UWRF 2019 di Facebook, saling tukaran nomor WhatsApp, dan akhirnya aku mendapatkan teman baru.

Short Escape in Ubud. Judul yang bisa aku gunakan untuk momen ini. Baru juga masuk tahun ajaran baru, udah kabur-kaburan aja kuliahnya. Bolos ya? Butuh dolan dan kesempatan itu bisa jadi enggak datang dua kali. Itu aja jawabanku. Semester tiga ini, jadwalku memang enggak terlalu padat. Hanya ada satu mata kuliah Proposal Seminar dan kelasnya pun hanya seminggu sekali. Berbekal surat izin dari koordinator volunteer UWRF dan ya dapat izin deh HOHOHO…

UWRF 2019 dilaksanakan tanggal 23 Oktober-27 Oktober 2019 di Ubud, Bali. Aku memutuskan berangkat dari Jogja sehari sebelum acara dimulai. Berangkat sama siapa? Sama teman baruku dong. Modal yakin aja, ketemu juga baru sekali dan bahkan baru ketemu sewaktu di bandara, sisanya hanya komunikasi lewat WhatsApp dan walaupun belum pernah ketemu sekalipun, obrolannya tetep asyik, jadi saat ketemu pun langsung nyambung.

Ubud 2019. Menginap enam malam di Ubud, tapi merencanakan seminggu di Bali. Oh iya, waktu itu aku menginap di Kabera House 2 yang terletak pas di tengah-tengah Ubud. Hanya dengan membayar kirang lebih Rp. 594.000,- untuk enam malam dan termasuk sarapan, sudah murah lah yaa… Beruntung banget, pemiliknya, Bu Ketut, juga ramah dan selalu menanyakan kabarku dan temanku ketika kami pesan sarapan. Rekomen sekali tempat menginap ini! :)


Apa yang istimewa dari Ubud? “Jatuh cinta selalu tak sengaja. Jatuh di tanah Ubud,” kata Sal Priadi. “Vibesnya juga beda daripada daerah lain di Bali,” kata Ebby. Dan aku mengakui pernyataan itu. Ubud memang berbeda dari daerah lain di Bali. Di Ubud, jarang banget ojek online yang mangkal, kalaupun ada ya mereka enggak berani pakai jaket hijau andalan. “Harga” makanannya juga beda ketika kita ada di daerah Denpasar dan harus pintar juga cari makanan murah di Ubud. Setiap sudutnya seolah ingin menceritakan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di sana, jalanannya meskipun ramai tapi juga membawa cerita tersendiri. Kafe? Hmmm… ada banyak kafe di Ubud, di setiap sudut dan di setiap jalanannya pasti kafe semua. Jadi ingat waktu itu ngopi dengan teman sekamarku di Kahiyang Coffee, pemiliknya ramah banget! Selain itu, kafe di Ubud menunya juga kebarat-baratan menyesuaikan lidah para pelancong dari barat. Bar? Banyak banget. Dan mungkin ini kali pertama aku masuk bar karena sebagian acara diadakan di bar-bar tersebut. Museum? Banyak juga. Karena aku dapat jadwal shift di NEKA Art Museum, suasananya pun berbeda seolah bukan Bali kalau enggak ada museum di setiap sudutnya.

Ada satu hal yang mungkin enggak pernah aku lupakan ketika mendarat pertama kali di Ubud: makan pop mie di Circle K dengan teman sekamarku karena kami “mungkin” kurang eksplor kali ya HAHAHA… Jauh-jauh ke Ubud makan juga pop mie… HAHAHA konyol sih saking laparnya dan waktu itu juga udah malam.

Ubud 2019. Terima kasih sudah jadi tempat pelarian singkatku dari seluk beluk semester tiga. Terima kasih untuk suasana yang kau tawarkan, cinta yang kau berikan, dan misteri yang belum sepenuhnya terungkap. Setiap jalanan di Ubud menyimpan begitu banyak cerita, dari mulai kafe, bar, rumah makannya, hingga senyuman setiap pelayannya. Terima kasih sudah menerimaku untuk menikmati enam malam di Ubud hingga nanti kita bertemu ke(m)Bali. Ubud. Ubud dan kisahnya. Ubud dan semua lelahku di tahun 2019. Serta Ubud dan pelarian kecilku, menikmati setiap detail cerita yang aku bawa dari Ubud dan hingga rasa penasaran itu pun masih terbawa hingga aku pulang ke Jogja.


[Part 2]: UWRF, the people, and let me tell you the story



Apa sih Ubud Writers and Readers Festival itu? Apa yang istimewa dari Ubud Writers and Readers Festival? “Ubud Writers and Readers Festival atau UWRF ini diadakan setiap tahun di pusat seni dan budaya pulau Bali, UWRF adalah kancah pertemuan para penulis, jurnalis, cendekiawan, dan seniman terbesar di Asia Tenggara. Di tahun 2019 ini, UWRF merayakan tahun ke-16 pada tanggal 23-27 Oktober. Ribuan pecinta sastra dan seni dari berbagai belahan dunia berkumpul untuk saling belajar, menginspirasi, dan terhubung satu sama lain. UWRF bukan hanya sebagai tempat untuk mendengarkan kisah, tetapi juga sebagai panggung untuk memperdengarkan suara-suara di hadapan dunia,” dikutip dari kartu pos UWRF 2019. 

Menjadi volunteer di UWRF 2019 ini adalah pengalaman volunteer pertamaku. Itung-itung pernah ikut sekali seumur hidup kan, biar bisa cerita ke anak cucu hahaha! Awalnya waduh, enggak nyangka aja bisa jadi bagian dari perhelatan Festival Sastra terbesar se-Asia Tenggara ini. Jadi bagian dari tim Main Program adalah reward istimewa. Bisa ketemu sama tokoh-tokoh besar yang tadinya enggak tau mereka siapa, malah sekarang jadi tau siapa mereka. Di grup volunteer sendiri ada yang titip pesan,”Kalian sebagai tim di Main Program harus bersyukur, bisa ketemu orang-orang penting. Kalian adalah kunci utama atau pagar depan dari UWRF ini, harus ramah dan sering senyum karena semua mata akan tertuju padamu.” Berat juga, pikirku kan.


Tim NEKA Art Museum lokasinya agak jauh dari volunteer base camp atau sekitar kurang lebih 500 meter. Aslinya semacam merasa terasingkan dari venue-venue yang lainnya karena dua venue yang lain mungkin hanya berjarak 50-100 meter. Bisa jadi karena aku ditempatkan di tim NEKA Art Museum, jadi jarang bergaul juga dengan mereka-mereka yang berdekatan dengan volunteer base camp. Seru banget! Jadi anggota grup terbanyak yang anggotanya ternyata isinya orang keren semua. Supervisorku sendiri pun kuliah di Kedokteran Hewan di Surabaya dan pendiri Undisputed Poetry Surabaya, ada juga yang jadi dokter hewan di klinik Australia, mahasiswa psikologi di Surabaya, mahasiswa akuntansi di Udayana, alumni Kedokteran UGM dan pendiri Unveiled Poetry Jogja. Kurang keren apa weyy satu kelompok dengan mereka-mereka? Bersyukur banget. Semoga aja ketularan keren! *eh… hahaha

Selain ketemu dan satu kelompok dengan mereka, ada beberapa tokoh yang sempat aku temui ketika jadi volunteer di UWRF 2019 ini, di antaranya Garin Nugroho, Seno Gumira Ajidarma, Theresia Rumthe, Butet Manurung, Saras Dewi, Nirwan Dewanto, Resa Boenard, Didiet Maulana, Irvine Welsh, Arkana, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh dari dalam dan luar negeri. Beruntung banget bisa menjadi bagian dari Festival Family UWRF 2019 ini. Tambah keluarga baru, teman baru, dan aku banyak belajar dari sini salah satunya gimana caranya keluar dari zona nyaman itu sendiri.

UWRF 2019 dan kisahnya, mungkin ini yang membuat beberapa alumni volunteer dari tahun-tahun sebelumnya ingin datang lagi dan lagi, bahkan ada yang udah ikut sampai enam kali. WOW. Kembali melayani untuk acara sekeren ini. Apa yang membuatku masih sulit untuk melupakan UWRF 2019 ini? Setiap tahunnya pasti ada kisahnya yang dinantikan, ada tema berbeda yang membuat kita hanyut di dalamnya, ada peristiwa yang akan terkenang, serta ada berbagai keberagaman yang menyatukan perbedaan. Ubud, UWRF, orang-orang di dalamnya, dan cerita menarik lainnya enggak akan mudah untuk dilupakan, apalagi ini adalah sebuah pencapaian luar biasa dan bertemu dengan berbagai macam karakteristik setiap pribadi yang mereka bawa dari tempat asal mereka. 

Oiya, di tahun 2019 ini, UWRF mengambil tema yang menarik tapi sekaligus ngeri juga, KARMA. Pemilihan kata dan tema ini pasti punya tujuan tersendiri dan harapannya ketika bergabung dengan UWRF’s Family Festival, seluruh partisipan dan panitia bisa memperoleh Karma baik mereka. Dan ya…. setelah aku pelajari, aku mengiyakan juga mengapa mereka memilih tema itu karena sepulang dari Ubud pun, “Karma” dari UWRF masih aja menaungiku… hahahaha….


[End]: Live your life to the fullest as it is not so urgent, but it can expire.


“Karma is the belief that your actions in this life affect all your future lives,” (Collins COBUILD Advanced Dictionary). Karma bermain dan memihakku di sini dan apa yang semua aku dapatkan di tahun 2019 ini bisa jadi karena “Karma”ku sedang baik di tahun ini sehingga aku menyimpulkan seperti ini…

Reflecting my 2019 be like…
Throwing back to the “HELL” of the SPD class in 2016. I learned about the good deeds and how I deserved it. “Karma does exist. So, if you do good deeds, the good Karma will upon you,” Bu Lanny said in SPD class. Then, my Karma brought me to join as one of the Family Festival members at UWRF 2019. This year, in 2019, meant a lot for me with the starting points to deserve my best in university life. Yet, my Karma did not stop here. At the end of 2019, my Karma still brought me to the deep, beautiful, and insightful ideas of TEDxMlatiWomen that gave me so many perspectives of “how to make a change” on my surroundings.


Tahun 2019 enggak cuma soal UWRF di bulan Oktober lalu, tapi juga ada juga hadiah lain setelahnya. Menjelang akhir tahun 2019 kok ya masih dikasih kesempatan untuk dapat pencerahan dari TEDxWomen pertama di Jogja. Belum terlambat untuk tau iklan acara ini. Setelah lihat-lihat tema dan siapa aja pembicaranya, langsung daftar aja waktu itu. Ingat! Enggak ada yang namanya kebetulan dan mungkin juga enggak ada kesempatan kedua, tapi kalau ada kesempatan kenapa enggak diambil, benar begitu kan?

Tahun 2019 ini jadi kali kedua aku menghadiri acara di bawah naungan TEDx Talks ini. Sebuah event yang enggak pernah mengecewakan sejak pertama kali aku hadir di TEDxUGM tahun lalu. Dan hebatnya lagi, salah satu panitianya adalah teman satu kelompokku ketika UWRF kemarin (pendiri Unveiled Poetry Jogja). Seru, inspiratif, dan tema yang diusung juga tentang “Rewrite the Rules” seputar women empowerment dan gender equality. Mumpung bisa dibilang temanya mirip-mirip sama topik tesis yakan? (DUH! HAHAHA….)

TEDx Talks kali ini luar biasa menurutku. Bertemu dengan tokoh-tokoh inspiratif yang punya berbagai pengalaman menarik, salah satunya ketika Mas Rianto tampil di panggung. Ada pertanyaan yang menarik saat itu dan sempat mikir juga apakah layak untuk ditanyakan? Pertanyaan ini mengingatkanku ketika di tahun 2016 sewaktu makul SPD (Service Program Design), yang pernah mengundang Maestro Didik Nini Thowok yang bercerita tentang konsep "cross gender." Lalu, di tahun 2019, sewaktu ikut UWRF, dapat kesempatan bertemu Garin Nugroho, sutradara film "Kucumbu Tubuh Indahku," yang kemarin memborong Piala Citra. Banyak persepsi tentang film ini yang yaa... beberapa menyambut baik, beberapa tidak. 


IFI-LIP Sagan, TEDxMlatiWomen, 13 Desember 2019. Dapat kesempatan untuk bertemu dan bertanya satu pertanyaan kepada Mas Rianto, seorang Maestro tari internasional dari Banyumas (kini tinggal di Tokyo) yang kisahnya dijadikan inspirasi film "Kucumbu Tubuh Indahku" oleh Garin Nugroho. Kurang lebih, begini pertanyaannya,

"Menurut Mas Rianto, apakah ada kesamaan konsep dari peleburan feminin dan maskulin dengan "cross gender" di dalam tubuh manusia?”

Jawaban beliau sangat menginspirasi dan mengagumkan. Begini katanya,

"Beda. Jelas berbeda. Peleburan maskulin dan feminin itu masuk ke bagian spiritualitas yang menganggap bahwa tubuh ini tidak hanya ada sisi maskulin saja, tapi ada sisi feminin. Artinya, mulai menghilangkan anggapan dalam pembatasan maskulin dan feminin serta semuanya itu ada di dalam diri kita sendiri sehingga kita bisa mengakses batasan baru yang sebelumnya ditutupi oleh sisi maskulin menjadi feminin atau sebaliknya. Seperti juga di tubuh kita ini, ada hormon yang dominan, misalnya, di tubuh laki-laki yang notabene maskulin tapi punya sedikit sisi feminin dan begitu sebaliknya. Sedangkan "cross gender," hanya terlihat dari luar dan pembedanya harus ada dan jelas."

Di akhir performancenya, Mas Rianto berpesan, "Perbanyak belajar! Kurangi menghina dan membenci. Dan mulailah untuk mencintai dan menghargai," - Mas Rianto, TEDxMlatiWomen, 2019.

Akhir 2019 sudah dekat. Apalagi kalau enggak bersyukur untuk pencapaian di tahun ini karena boleh ikut berpartisipasi di acara-acara keren tadi. “Karma” dan lagi-lagi kata itu kembali mengikutiku. Tahun 2020 pasti ada banyak pengalaman baru lagi, teman-teman baru, dan cerita baru yang bakal dijadikan inspirasi selama 366 hari ke depan. Terima kasih 2019 untuk kesempatan berharga yang mungkin belum tentu aku dapatkan lagi di tahun-tahun berikutnya. Terima kasih untuk Karma-ku di tahun 2019 yang telah mengizinkanku menikmati kesempatan-kesempatan itu. Terima kasih juga untuk orang-orang baru, teman-teman baru, cerita-cerita baru yang sudah aku capai di tahun 2019. You made my wonderful and adorable days!


“Keberuntunganmu ketemu tokoh-tokoh inspiratif itu berkat kesediaan tubuhmu untuk bergerak, berjalan, dan berlelah. Jaga kesehatan tubuhmu dan kewarasan jiwamu!” - Om Coach Writer, AA Kunto A, 2019.

Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

If We Hold On Together