Titik Temu

 ─ #titiktemuseries: sebuah perjalanan refleksi tahun 2021...


Besok aku jemput ya. Jam lima sore aku udah sampai di depan rumahmu, kulirik ponsel dan sebuah pesan masuk melalui sambungan Whatsapp.

Itulah awal mula sebuah percakapan kecil kami. Sebuah percakapan yang mungkin akan membosankan bagi sebagian orang. Mengusung tema “kisah masa lalu” yang berarti akan mengulas kenangan entah itu luka lama atau peristiwa menyenangkan dan kembali menganga. Saatnya aku menjadi pendengar yang baik, tanpa harus menghakimi, janjiku sore itu.

Secangkir Caffe Latte dan Americano sudah terhidang di atas meja, menemani percakapan kecil yang mungkin sedikit menguras emosi dan tenaga. Tak lupa pula sebagai pelengkap, ada dua jenis rasa roti bakar sebagai kudapan juga terhidang dan ingin ikut mendengar cerita kami.

Percakapan kecil itu aku awali dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Sebelum aku tanya, kamu mau cerita apa duluan?”

Senja, begitu ia disapa. Dan ia pun mulai bercerita. Lagi-lagi tentang pengalaman hidup yang mendewasakan. Membawa kami kembali ke masa yang telah lalu, entah itu pengalaman menyenangkan atau menyedihkan. Terkadang kita pun harus bertemu dengan sebuah peristiwa yang salah atau berjumpa dengan peristiwa yang mengesankan. Keduanya saling melengkapi dan memberikan sebuah pelajaran. Didewasakan oleh sosok waktu, yang mungkin menghantui dan yang mungkin menolong kita untuk belajar. Lagi-lagi masalah “waktu” yang berbicara. Cerita senja di hari Minggu mengalir begitu saja dengan lancar, jelas, dan jujur. Semuanya terbuka seolah beban lama itu sudah sirna, seiring berjalannya waktu dan timbul rasa ikhlas untuk meninggalkan beban yang telah lalu.

“Kamu tau?” sambungku, “tepatnya tanggal 10 Desember 2021 lalu aku cerita ke salah satu teman. Aku ingin bisa berkomunikasi lagi denganmu. Saat itu dia bertanya, ‘Kenapa kamu kepingin menulis cerita?’ lalu aku bercerita, ‘Hampir setahun kami tidak pernah bertegur sapa. Harus aku hubungi melalui apa? Mungkin lewat sebuah tulisan. Hanya tulisan yang bisa membuka jalan. Tulisan yang nantinya akan menyatukan komunikasi itu. Kadang aku berpikir, dia ada di mana ya sekarang? Apa kabar?’ Tapi ya biar waktu yang menjawab.”

Hening. Secangkir Caffe Latte yang sedari tadi masih belum kusentuh itu masih berdiam di sana, lalu aku melanjutkan, “Tiga hari sebelum Natal, kamu menghubungi. Menanyakan kabar dan ingin mengajak bertemu. Apakah ini yang dinamakan intuisi? Apa hanya sebuah kebetulan? Hanya butuh waktu dua belas hari.”

Saat itu hujan. Aku sedang berteduh di parkiran. Entah perasaan apa yang menggerakkanku untuk menghubungimu lagi. Ingin bertemu. Menceritakan semuanya. Supaya jelas. Membuka lembar baru. Bertemu dan bercerita pada kalian satu-persatu, secara khusus, tukasnya.

Mungkin ini kali pertama dari sejarah pertemuanku dengan senja di hari Minggu, setelah sekian tahun kami dipisahkan oleh jarak dan tembok raksasa. Waktu. Iya. Dia sudah mengatur pertemuan ini. Kembali bertemu dengan senja di hari Minggu. Cerita senja di hari Minggu didominasi oleh kilas balik beberapa tahun ke belakang. Tentang kegundahan-kegundahan, harapan di masa lalu, kesedihan, cerita masa kecil; entah akan dinamakan apa. Aku dan senja di hari Minggu saling bertukar cerita tentang masa-masa kejayaan di masa lalu dan tentang masa-masa terpuruk. Semua membutuhkan pertimbangan yang matang untuk diceritakan. Dan untuk kali pertama, senja di hari Minggu membawa kami untuk saling berterus terang, menceritakan desas-desus yang (mungkin) pernah timbul di masa lalu. 

“Tahun 2019 adalah masa kejayaanku. Aku dipertemukan oleh orang-orang hebat dan memotivasi. Seolah semuanya lancar, mudah, dan diberkati. Karma baik mungkin sedang berpihak. Ikut acara A, B, C... kesempatan hadir karena dicari dan dari kesempatan pula kita belajar,” kataku. 

Tahun 2019-ku kebalikan dari masa kejayaanmu. Masa-masa saat aku terpuruk. Butuh satu tahun untuk berefleksi dan akhirnya memutuskan. Bagaimana masalah ini harus diselesaikan. Berdamai dengan diri sendiri memang tidak mudah. Berdamai dengan masa lalu apalagi. Mempertimbangkan apakah mereka akan kecewa. Membatasi komunikasi. Lalu aku memilih untuk diam, jelasnya.

“Tapi... tahun lalu, di tahun 2021 aku juga terpuruk. Ada aja masalah yang hadir secara berurutan. Dari mulai kena COVID-19, permasalahan keluarga, dan dikhianati orang terdekat. Sampai fisik dan mental ini merasa sakit dan selalu bertanya, ‘Kenapa ada aja masalah yang datang? Yang ini belum selesai, lalu datang lagi yang lainnya. Ingin menyerah tapi ini belum seberapa dibandingkan permasalahan orang lain.’ Kita pernah berada di titik yang sama. Apakah menyesal pernah mengalami itu semua? Apakah menyesal pernah bertemu mereka? Apakah menyesal pernah bertemu dengan waktu yang salah? Enggak kan? Kita malah bersyukur sama kejadian yang pernah terjadi.”

Iya kamu benar. Kita enggak perlu menyesal dengan kejadian yang telah lalu. Kejadian yang pernah hadir dalam hidup kita. Ini adalah cara kita mencintai liku dan terjalnya sebuah perjalanan. Waktu tak pernah enggan untuk mengingatkan bahwa peristiwa yang telah lalu menginginkan kita untuk bertumbuh dewasa. Menjadikan kita kuat untuk mengambil sebuah keputusan. Entah hal yang paling buruknya adalah membuat orang lain kecewa, dengan keputusan kita. Mereka mungkin akan menjauhi kita, tapi tentu kita akan kembali bertemu dengan mereka yang tulus. Mereka yang tulus akan tetap bertahan, memberikan motivasi, dan tidak pernah menghakimi─tentang hidup, pengalaman, kedewasaan, dan lain sebagainya.

Keterpurukan di tahun lalu adalah sebuah pembelajaran hidup. Pengalaman yang akan memprosesnya. Kadang kita perlu bertemu dengan orang-orang yang salah, mereka yang akan menjatuhkan kita, bahkan bisa saja mereka adalah orang terdekat kita. Ada pepatah yang mengatakan, biasanya orang terdekat yang akan dengan mudah membuatmu kecewa. Dan memang benar. Bertemu dengan peristiwa dan orang-orang yang salah bukan untuk disesali, melainkan untuk kita bisa belajar dan mau berefleksi─kemarin habis melakukan apa, habis bicara bagaimana sehingga menyakiti mereka, terkadang orang-orang itu akan mencari celah, titik kelemahan kita yang nanti bisa saja akan disebarluaskan ke banyak orang supaya semakin banyak yang membenci kita.

Aku tahu kalau aku tidak sendiri. Mungkin saja aku kurang berdoa dan bersyukur. Karena, tidak ada permasalahan yang hadir di luar batas kemampuan manusia. Dia masih saja baik. Dia masih saja menemani. Di tengah keterpurukan itu, menjelang akhir tahun, Dia masih memberikan hadiah, menjelang Natal, ada saja orang-orang baik yang kembali hadir, bertahan, dan memberikan motivasi. Sekali lagi, hanya mereka yang tulus yang akan bertahan. 

Jangan pernah menyerah ya kita, aku di sebelahmu...kata seseorang yang membuatku ingin lebih lagi memaknai arti hidup. Terima kasih ya, jawabku dalam hati, saat itu.

Menjadi lebih kuat. Seorang teman yang selalu kuat dalam mengartikan hidup yang sebenarnya. Ia yang sudah merasakan hidup mapan dan harus kembali pulang karena ayahnya sakit. Seorang sosok anak perempuan pertama di keluarga. Menjadi anak pertama harus selalu kuat untuk dijadikan teladan adik-adiknya. Menjadi anak pertama harus selalu bisa mandiri karena semuanya pasti dilimpahkan kepadanya untuk menjadi panutan. Apalagi dia seorang perempuan. Tidak ada perempuan yang lemah di Bumi. Seorang perempuan harus kuat; kuat untuk mengandung sembilan bulan dan melahirkan. Mereka juga harus mandiri, apalagi dalam karir, cita-cita, cinta, dan pilihan hidup mereka.

“Aku belum siap untuk bertemu lagi dengan mereka. Orang-orang yang pernah menjadi bagian terdekat dalam hidup. Kok ya bisa mereka seperti itu, menjatuhkan. Aku sampai berpikir, apa karena aku dendam dengan mereka?”

Ini masalah waktu. Waktu yang akan menentukan. Ke mana arah pertanyaan itu akan terjawab, kata senja di hari Minggu.

Saling melengkapi. Mungkin iya. Ceritaku pada senja di hari Minggu membawa kepada sebuah titik temu dan impresi yang belum pernah aku alami sebelumnya. Lega rasanya bisa bercerita dengan jujur pada senja di hari Minggu yang adalah seorang kawan lama. Ada banyak yang berprasangka bahwa aku dan senja di hari Minggu menjalin hubungan dekat. Kedekatan kami pun juga mungkin menimbulkan beribu tanda tanya. 

“Jadi, gimana kelanjutan cerita ini? Mau dibuat dan digarap serius?”

Apa tidak terlalu cepat? tanyanya sambil tersenyum.

Ada hal tersirat di sana. Mungkin kita kembali berpegang pada waktu. Biar waktu yang menentukan dan membawa kita pada sebuah jawaban. Waktu kembali berputar. Senja di hari Minggu kini telah berubah menjadi malam. Menandakan waktu yang tak lagi panjang menjelang tengah malam. Waktu kami semakin singkat dan cerita kami semakin padat. Seolah enggan untuk memutus rantai waktu di saat senja di hari Minggu yang telah menjadi malam di hari Minggu.

“Se-kenal-kenalnya dan se-akrab-akrabnya aku sama teman lama, aku belum tentu bisa berani berkata jujur. Apakah nanti privasiku akan aman? Atau malah mereka akan semakin menyalahkan? Mencari titik kelemahan dan kembali menjatuhkan,” tambahku sebelum mengakhiri percakapan itu, “tapi cuma kamu, satu-satunya orang yang belum pernah menyalahkanku walaupun mungkin aku pernah melakukan kesalahan padamu.”

Titik temu di awal tahun 2022 ini semoga membawa harapan. Bukan untukku saja, tetapi juga untuk semua orang. Aku percaya bahwa roda kehidupan manusia selalu berputar. Mungkin saja hidupku sedang berada di bawah. Mana tahu juga besok pagi roda itu akan berputar 180o. Roda kehidupan kita berada di atas dan roda kehidupan mereka berada di bawah. Karma baik selalu hadir bagi mereka yang sudah menabung perlakuan baik ke orang lain dan karma buruk juga selalu hadir bagi mereka yang berusaha mencari kesalahan dan berusaha menjatuhkan orang lain.

Tenang. Titik temu akan membawamu pada sebuah perjalanan yang mengasyikkan dan juga akan membawamu untuk mendapatkan jawaban dan kesimpulan yang dinamakan titik terang. Ingat selalu ya, mereka yang tulus akan selalu bertahan dan mereka yang tidak tulus, sebaiknya kamu tinggalkan.

“Sayang sekali ya waktu terus berjalan. Kita harus ketemu lagi. Membahas tulisan dan cerita berikutnya,” ajakku.

Pasti. Aku pulang dulu ya. Terima kasih untuk cerita kita hari ini. Terima kasih untuk titik temu paling jujur dan terbuka seperti tadi. Jangan lupa tuliskan impresimu terhadapku hari ini ya, pintanya.

Terima kasih juga sudah menyempurnakan senja di hari Minggu dengan cerita-cerita dari masa lalu, dengan penerimaan yang masih sulit dilogika, dan dengan segala kegundahan hati yang sedikit terobati. Aku menyadari bahwa sebuah pertemuan, selalu diakhiri dengan impresi, begitupun sebaliknya, impresi hadir karena sebuah pertemuan. Lalu senja di hari Minggu berpamitan pulang. Ikut larut tenggelam bersama malam di hari Minggu. Menyisakan detik demi detik waktu untuk menyambut kembali kerumitan baru di hari Senin.

 

Maria Ardianti Kurnia Sari

29 Januari 2022 1:00 PM

Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

Doa Harian Ibu Teresa