Seperti Merpati dan Balon
─ #titiktemuseries: apa impian terbesarmu?
Waktu. Ia memiliki dua peran, yang pertama
untuk mempertemukan dan yang kedua untuk memisahkan. Ada berbagai cerita dan
hal tentang sebuah pertemuan dan perpisahan, namun apa keduanya bisa menjadi
sebuah kebetulan? Waktu mengakrabkan kita pada sebuah momen untuk bisa saling
menemukan, mengenal, dan memahami satu sama lain. Tak lupa pula, ia juga yang
mengajarkan kita untuk mengikhlaskan sebuah peristiwa yang mungkin saja tidak bisa
terulang kembali.
Berbicara tentang waktu, ia memberikanku sebuah kesempatan─tentang sebuah pertemuan. Kurang lebih sudah dua puluh tiga tahun kami berteman, hanya saja keakraban itu baru muncul saat kami sudah sama-sama berada di perguruan tinggi. Sesekali bertegur sapa─sambil lalu, di saat hari raya, satu atau dua detik.
Tahun 2019, pertemuan itu hadir untuk
pertama kalinya. Kembali saling mengenal dan memahami. Seolah menjadi momen
untuk mengulang masa perkenalan dua orang anak remaja di masa sekolah. Tahun
2020, waktu memisahkan. Memunculkan pelbagai problematika kehidupan. Menjaga
jarak, namun tidak dihalangi oleh kecanggihan teknologi.
‘Lebaran kamu ke mana nih? I’m going home this
Lebaran.’
Sebuah pesan elektronik masuk ke ponselku
menjelang Hari Raya Idulfitri tahun 2022. Secara otomatis, mengingatkanku pada
sebuah pesan elektronik tiga tahun lalu, saat Hari Raya Idulfitri tahun 2019
dan awal percakapan kami dimulai. Apa pertanyaan itu menandakan akan adanya sebuah
pertemuan kembali? Tidak baik untuk berandai-andai dan berimajinasi terlalu
tinggi.
Kapan terakhir kali kami bertemu? Tahun 2020,
tepat di bulan April saat Indonesia sedang pembatasan wilayah karena pandemi COVID-19. Setelahnya, kami jarang bertemu. Komunikasi kami tetap baik. Masih
sering bertukar kabar dan bercerita. Sesekali percakapan kami diselingi dengan
motivasi untuk bisa saling membangun dan menguatkan. Selalu ada perhatian kecil
yang tersirat di sana, walaupun dunia maya sebagai medianya. Terkadang satu pertanyaan sederhana muncul, ‘Apa kabar?’, menyadarkanku apa saat ini aku
sedang baik-baik saja atau tidak.
Semoga bisa bertemu lagi, doaku sejak awal
tahun 2022. Entah apa yang membuatku semangat setiap menemuinya, mungkin karena
dia membawa vibes yang tidak bisa aku dekripsikan dan berbeda dari
teman-temanku yang lain.
‘Tahun ini kita harus ketemu tahun lah ya…’,
katanya lagi. Tapi, kapan waktu yang tepat? Kesempatan memang ada karena
dicari. Beberapa bulan lalu, di bulan Maret, dia memutuskan pindah ke Jakarta. ‘Tenang,
aku akan sering pulang, jadi nanti kita bisa ketemu lagi,’ kata-katanya
selalu optimis walaupun ada tersirat ketidakpastian. Itu yang selalu membuatku
yakin untuk bisa bertemu dan bertukar ide dengannya lagi, meskipun hanya satu
atau dua jam. Sebenarnya aku tahu dia akan pulang Lebaran tahun ini, hanya
saja aku enggan untuk memastikan apa benar dia pulang. Keinginan kami untuk
bertemu bukanlah hal yang mendesak dan bukan juga sebuah janji yang harus
ditepati. Bisa jadi kalimat yang pernah dia ucapkan ini ada benarnya, ‘not
so urgent, but it can expire.’
Sampai di pertengahan tahun 2022, aku
sudah menemui beberapa teman. Teman-teman yang aku anggap penting untuk
ditemui. Mereka adalah teman-teman yang menurutku bisa memulihkan semangat dan
memberikan dampak besar dalam hidupku. Membangun kembali rasa percaya diri
kalau hidup bukan hanya sekadar mimpi, namun juga menemukan cara untuk bisa
mewujudkan setiap impian. Ada macam-macam kisah yang aku pelajari dari mereka. Cerita
mereka selalu memberikan kesan tersendiri.
Senang sekali bisa mendengarkan cerita
tentang bagaimana mereka bertumbuh dan berjuang. Mungkin di zaman sekarang,
istilah kerennya adalah deep talk. Aku memang tidak bisa mengingat
setiap detail kalimat yang mereka ucapkan, tetapi sebagai pendengar, aku selalu
mencoba untuk bisa mengambil pesan dan kesimpulan dari kisah mereka.
Akhir-akhir ini aku sering menuliskan kembali hal menarik dari pertemuan kami dalam
bentuk refleksi atau cerita pendek. Semua tulisan itu membahas tak jauh dari pengalaman hidup untuk menyikapi sebuah tantangan, sebuah masalah, dan lagi-lagi tentang proses kehidupan.
Notifikasi dan namanya muncul di layar
ponsel, ‘Kita meet up yuk…’ Rasa penasaranku sudah terjawab, dia pulang
dan mengajak untuk bertemu. Tanpa pikir panjang, segera aku iyakan ajakannya. Kapan
lagi, bukan? Rasanya masih seperti mimpi, setelah dua tahun hanya berkomunikasi
melalui pesan elektronik dan kami akhirnya bersua tahun ini. Apa doaku sejak
awal tahun terkabul secara instan? Tentu tidak, tetapi aku yakin ini bukan sebuah kebetulan.
Mendung gelap dan hujan deras sempat turun
tadi sore. Pukul tujuh malam, setelah hujan reda, suasana hangat hadir di
sebuah tempat yang tidak jauh dari rumah. Aku sengaja menyiapkan beberapa
pertanyaan sebagai topik. Mungkin sedikit aneh dan untuk pertama kalinya, dia
menanggapi dengan serius beberapa pertanyaanku. Sebaliknya, aku juga menceritakan
banyak hal, di antaranya tentang apa yang ingin aku kerjakan dan apa yang menjadi
impianku; mungkin di tahun ini atau di tahun-tahun berikutnya.
Senang melihatnya baik-baik saja, masih
sama seperti dua tahun lalu. Dia yang ramah dan murah senyum. Udara cukup
dingin, akhirnya aku memesan secangkir cokelat panas dengan hiasan latte art,
sedangkan dia justru memesan segelas es kopi alpukat. Dua minuman sudah
terhidang seolah ingin ikut bercengkerama merayakan pertemuan kecil ini. Pertanyaan
pertama terlontar begitu saja dan memulai brainstorming kami
masing-masing.
“Aku mau tanya pendapatmu. Kalo seandainya
aku sekolah lagi, kamu akan anggap aku gila gak?” tanyaku sambil bercanda.
“Kamu mau S3?”
“S3? Kalo itu, aku bisa gila sih kayaknya. Hahaha…”
“Terus mau sekolah apa lagi dong?”
“Kalo misalnya S2 lagi? Gimana menurutmu?”
“Ya enggak gila dong. Kalo bisa dan sanggup,
kenapa enggak?” raut wajahnya tenang dan tidak terkejut atau malah menghakimi. Aku
masih ingat tiga tahun lalu, dia jauh lebih terkejut ketika tahu aku
melanjutkan studi strata dua. Satu universitas dengannya. ‘Harusnya kan aku
duluan yang S2 ya, jadi malah kamu duluan,’ katanya waktu itu.
Aku memahami tatapan itu, dari seseorang
yang sangat suka belajar. Aku tidak tahu pada siapa lagi akan menanyakan beberapa
hal ini: impian, pendidikan, buku, tokoh dunia, bahasa asing, Amerikanisasi,
dan lain sebagainya. Mungkin orang lain akan menganggapku gila atau malah akan
mengatakan untuk berpikir secara realistis tentang impian. Menjalani hidup sebagaimana
mestinya. ‘Impianmu tinggi banget ya. Hati-hati loh kalo nanti enggak
kesampaian, bisa kecewa. Mendingan mikir realistis aja deh. Jangan kebanyakan ngayal,’
kata mereka. Ada juga pepatah yang mengatakan, ‘Jangan pernah membunuh impian
orang lain dengan kata-katamu. Lebih baik kamu simpan saja kata-katamu itu
untuk dirimu sendiri.’ Orang terdekat mungkin bermaksud bercanda, tetapi
apa kata-kata itu cocok dilontarkan untuk membunuh impian seseorang? Mungkin
memang benar juga, terkadang ada saja orang terdekat yang justru malah ingin
membunuh impian kita.
Sepertinya baru dia yang bisa mengerti dan
memahami, serta memberikan jawaban dan solusi dari pertanyaanku tadi. Dan saat
ini dia berada di hadapanku. Berbicara langsung denganku diiringi back sound
gerimis malam itu yang kembali turun, “Kalo menurutmu ilmu yang kemarin masih
kurang, mungkin bisa aja kamu sekolah lagi. Tapi kenapa enggak langsung S3?”
“Kenapa ya orang-orang selalu tanya
tentang S3? Kapan S3? Hmmm… menurutku S3 itu lingkupnya jadi sempit gak sih? Harus
udah yakin aja gitu. Penelitian selama empat sampai enam tahun, sedangkan aku,
masih penasaran S2 yang kuambil apa udah bener?” Apa aku menyesal tentang
kejadian di masa lalu? Tentu tidak. Kejadian di masa lalu yang menuntunku sampai
ke detik sekarang ini. “Semoga kamu bisa lanjut sampai tingkat doktoral ya. Kalo
itu, aku percaya kamu pasti mampu,” aku meneguk cokelat panas yang masih belum
tersentuh, lalu aku melanjutkan jawabanku, “tapi kita lihat nanti gimana ke
depannya, bisa sekolah lagi atau siapa tau malah ada kesempatan lain kan. Harus
berkeluarga dulu pastinya. Suami dan keluarga akan mendukung atau enggak.”
Kalau diperhatikan, kami memiliki beberapa
kesamaan; suka belajar, buku, diskusi─mungkin juga brainstorming,
dan juga Benua Merah. Hanya yang membedakan adalah dia lebih jenius dan memiliki
impian yang lebih hebat. Dia sangat percaya dengan impian dan ambisinya serta
bagaimana cara untuk mewujudkan itu semua. Calon orang hebat memang memiliki vibes
yang berbeda, pikirku. Tidak ada yang tidak mungkin untuk bisa dicapai, hal itu yang aku tangkap darinya. Kalau aku bisa memberikan julukan,
mungkin julukan yang tepat adalah the American Dream. Mengapa? Karena untuk
mewujudkan impian yang kita miliki, dibutuhkan kerja keras, ketekunan, dan
usaha. Ketika gagal, kita harus bangkit dan berani untuk mencoba lagi; sekali,
dua kali, tiga kali. Di balik semua hal itu, pasti juga ada rasa takut dan
tentunya overthinking, namun kita tidak pernah tahu kalau tidak pernah
mencoba, kan?
Terkadang kita juga sudah membayangkan
indahnya masa depan. Hidup dengan nyaman karena hasil kerja keras di masa muda.
Imajinasi itulah yang membawa kita untuk masuk ke dalam utopia, yakni
sebuah dunia yang hanya memamerkan keindahan-keindahan dengan segala fasilitas
yang memadai untuk menunjang kehidupan kita. Tetapi, pada kenyataannya, untuk
menuju ke sana, kita harus menyadari bahwa yang sedang kita hadapi adalah dystopia,
yakni kenyataan untuk menerima keadaan yang sebenarnya. Dunia nyata yang membuat kita bekerja lebih keras lagi; untuk semakin bertekun, berusaha,
dan diselingi doa. Seperti ada pepatah, Ora et Labora, bekerja dan berdoa─dengan
niat dan sepenuh hati tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Hujan kembali turun lumayan deras malam
itu. Secangkir cokelat panas dan es kopi alpukat sudah tinggal setengah gelas. Akhirnya
kami memesan makanan utama, Chicken Cordon Bleu, dan menu prasmanan yang
sedari tadi sudah menarik perhatian untuk disantap. Meja kami hening, hanya
terdengar sendok dan garpu yang saling berdenting dengan piring putih polos. Sesekali
terdengar beberapa orang yang juga sedang mengobrol di dekat meja kami. Aku
melihat ke arahnya, memastikan dia juga menikmati hidangan di piringnya. Dia
juga terkadang melihat ke arahku sambil tersenyum, seolah bertanya 'what is
the next question?' dan mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan
berikutnya. Aku kembali mengecek catatanku, memastikan masih ada berapa
pertanyaan yang belum aku tanyakan.
Pertanyaan-pertanyaan yang aku tulis
sebenarnya sederhana, hanya jawaban yang dia berikan terkadang membuka aneka
ragam kemungkinan yang bisa diwujudkan suatu hari nanti. Aku kembali bertanya,
kali ini perihal pengalamannya di SMA. Sekolah swasta Katolik khusus putra,
satu-satunya di Jogja. Sesekali dia masih tampak berpikir, mengingat pengalaman
di SMA dan mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikannya.
Menceritakan pengalamannya berada di SMA,
aku juga ikut hanyut membayangkan, terutama sekolah khusus putra ini memiliki
sistem pendidikan yang sedikit berbeda dari kebanyakan sekolah di Jogja dan
bisa jadi satu-satunya di Indonesia. Mereka tidak memiliki OSIS sebagai sistem organisasi
antar siswa. Didikan dari Romo pamong Serikat Yesus yang memegang teguh
semangat Ignasian, tentu membentuk pola karakter setiap siswanya. Mereka
dituntut untuk disiplin dan mampu berpikir kritis seperti halnya menghadapi
sebuah tantangan tanpa harus merasakan beratnya tantangan tersebut. Menciptakan
kepekaan, mengolah nurani, dan sikap berbelarasa, menjadi kunci utama dari semangat
Ignasian. Kebanyakan lulusannya memang menjadi orang-orang hebat, salah satunya
dia, calon orang hebat itu. Dari sinilah aku menyukai cara berpikirnya, apalagi
saat diajak untuk berdiskusi.
Sejak awal pertemuan kami; aku sudah menangkap
ada beberapa hal tersirat darinya. Tentang impian yang ingin dia raih esok lusa.
Malam ini, menjadi kesempatan kedua untukku, menanyakannya kembali apa
jawabannya masih sama atau sudah berubah. Mungkin kali ini aku akan
mendengarkan jawaban yang jauh lebih serius dari sebelumnya.
“What is your biggest ambition or
dream?” tanyaku sambil menyuap Chicken Cordon Bleu pesananku.
Dia tampak sedang berpikir, mengingat
kembali hal yang mungkin menjadi bagian dari bucket list-nya. “Menjelajahi
Benua Merah. Belum tahu juga ke depannya akan kayak apa. Kalo sekolah lagi,
udah jelas. Tadinya kepingin tetep di Asia kan, tapi malah pandemi. Mungkin emang
belum rejekinya. Atau mungkin malah dibelokkin supaya bisa mencicipi pendidikan
di Benua Merah, suatu saat nanti.”
“Kepingin tinggal di sana? Kalo iya, untuk
sementara atau dalam waktu yang lama?”
“Kepinginnya sih tinggal dalam waktu yang
lama. Ke sana pakai beasiswa, pulang lagi ke Indonesia, dan mungkin kembali untuk
kerja.”
“Lalu, kalo pertanyaannya aku tambah, apa
kamu punya satu peristiwa mengesankan di hidupmu yang kepingin banget kamu
ulang?”
“Hmmm… apa ya? Boleh sebut dua?”
“Boleh dong.”
“Yang pertama, mungkin mau ngulang hidupku di Benua
Hijau. Dulu kan pas kecil pernah tinggal di sana. Lalu, pulang ke Indonesia…”
jawaban itu terdengar menggantung, sepertinya sedang memikirkan kata-kata yang
pas untuk menjelaskan. Dia kembali meneguk es kopi alpukatnya yang sudah mulai mencair.
“Culture shock?”
“Culture shock justru pas di
Indonesia. Sistem pendidikan dan kehidupan masyarakatnya beda. Ternyata kayak
gini ya Indonesia dan lingkungannya. Dulu cuma bisa bayangin aja gimana
kehidupan di Indonesia, setelah tau, rasanya pingin ke Benua Hijau lagi karena sistemnya
lebih teratur di sana.”
“Tapi kalo disuruh pilih Benua Hijau atau Merah,
kamu pilih yang mana?”
“Benua Merah tetep jadi impian. Siapa sih
yang gak kepingin ke sana. Iya kan?”
“Dan peristiwa mengesankan yang kedua?”
“Pingin jadi mahasiswa Fisika lagi. Balik
ke zaman S1. Rasanya masih ada yang kurang. Ilmu yang aku dapat rasanya juga
udah banyak yang menguap nih.”
“Kayaknya lebih menarik Kimia deh daripada
Fisika. Dulu nilai Kimiaku bagus-bagus loh. Tapi aku gak mau masuk jurusan IPA
di SMA, Fisika susah sih,” sanggahku sambil tertawa.
“Tapi Fisika jadi salah satu sumber ilmu
pengetahuan yang memengaruhi Kimia loh.”
“Bener juga sih. Pantes kamu ngefans
banget sama Elon Musk, SpaceX, dan NASA. Oh iya, Bill Gates juga.” Dia
mengangguk yang berarti menyetujui apa yang baru saja aku katakan. “Kamu S1
Fisika tapi sekarang kerja di bidang IT. Bedanya jauh banget ya.”
“Sekarang aku tertarik sama IT dan AI.
Tapi ilmu Fisika yang pernah aku pelajari juga enggak bikin rugi kok. Lumayan
juga kan tambah pengalaman di bidang eksak.”
Ketika dia mengembalikan pertanyaan yang
sama untukku, aku pun akhirnya bercerita tentang keinginanku untuk menulis
sebuah buku dengan namaku yang tertulis di sampulnya. Dia kemudian bertanya
buku apa yang ingin aku tulis suatu hari nanti, bisa jadi itu buku fiksi atau
non-fiksi. Sebagai pecinta buku, tentu muncul ketertarikan untuk menanggapi,
mendengarkan dengan saksama, dan memberikan saran. Berbagi keinginan tentang
menulis buku adalah sebuah hal yang sulit untuk kuceritakan pada orang lain. Lega
rasanya bisa menceritakan salah satu impian di bucket list-ku ini,
karena belum tentu mereka yang aku ajak bicara bisa memahami apa isi pikiranku.
Angin malam kembali berhembus lembut.
Cokelat panasku yang tadi kupesan sudah dingin. Semua pertanyaan sudah kutanyakan
dengan sempurna. Berawal dari delapan pertanyaan, tetapi selalu saja bertambah
dan beranak-pinak.
“Kapan kamu nyusul ke Jakarta?” Kali ini dia
membuka sebuah pertanyaan untukku. Pertanyaan yang sudah lumayan sering
ditanyakan. Tetapi kali ini, dia menanyakan langsung. Keheningan kembali
bergelayut, hanya terdengar suara
sisa es batu yang diaduk dari gelasnya.
“Doakan bisa tahun ini ya. Salah satu momennya pas adik
sepupuku lahir jelang akhir tahun. Pasti main ke Jakarta. Udah cocoklah jadi
anakku.”
Dia tertawa. Aku menyadari kalau dia lebih sering tertawa dan tersenyum kali ini. Tawa dan senyumnya masih sama seperti di pertemuan-pertemuan
sebelumnya. “Nanti
kalo kamu ke Jakarta, jadi dong kita ke Perpusnas?”
“Jadi
dong. Gedungnya keren banget sih. Kalo ngomongin buku, sama siapa lagi aku bisa
cerita dan minta tolong? Buku antologiku ada di lantai 22 nih. Ingin
membuktikan apa beneran ada di salah satu rak mereka.”
“Oh
ya? Oke kalo gitu. Semoga enggak pas aku kerja ya, jadi aku bisa temenin ke
sana.”
Waktu
telah membius kami hingga tidak sadar bahwa ia sudah menunjukkan pukul sembilan
malam. Pertemuan kali ini mungkin menjadi salah satu pertemuan teristimewa di
tahun 2022. Seolah menjadi pertemuan yang paling aku tunggu-tunggu. Di
di
sebuah tempat bernuansa Joglo yang
menjadi saksi atas jawaban dari delapan pertanyaanku tadi.
“Mau
mampir ke rumah sebentar?” ajakku.
“Kamu yakin?”
“Yuk…”
Angin
malam kembali berhembus lembut. Genangan air hujan masih menghalangi jalanan
aspal penuh lubang. Ada sebuah perasaan enggan untuk berpisah. Dalam bahasa
Jawa, perasaan sedih ini dinamakan semedhot, yakni sebuah perasaan
enggan untuk berpisah. Waktu masih memberikan sedikit kesempatan untuk kami menuntaskan
cerita. ‘Aku beri satu jam lagi ya,’ kata waktu.
“Tiga
minggu lalu aku pulang. Kayaknya menjelang Paskah. Tapi cuma sebentar, jadi
kita baru bisa ketemu sekarang.”
“Kamu
itu seperti merpati ya,” aku berusaha mengingat sebuah novel era 1980an yang
baru saja selesai kubaca. Novel karya Mira W dengan judul Merpati Tak Pernah
Ingkar Janji. Kisah yang memiliki arti mendalam, tentang seorang calon
biarawati yang sudah memegang teguh janjinya. Novel yang juga menceritakan
kisah persahabatan, cinta, kasih sayang, kejujuran, dan kelembutan hati. Begitu
apik diulas oleh sang penulis.
“Kok
jadi merpati?”
“Menurut
artikel yang pernah aku baca nih, merpati itu burung yang enggak pernah ingkar
janji karena dia monogami. Pos zaman dulu pakai burung merpati untuk
kirim surat. Sejauh apapun mereka terbang, mereka enggak akan pernah lupa jalan
pulang. Mirip kamu. Kamu udah tinggal di Ibukota, kenal ingar-bingar
kehidupannya, selalu ingat untuk pulang ke rumah, tempat ternyaman untuk berkumpul
dengan keluarga. Tempat untuk merayakan kebersamaan dan kehangatan.”
“Ah,
terima kasih banyak. Dan kamu tau? Aku malah ngerasa diriku mirip balon berisi
helium yang terbang bebas.”
“Why?”
“Tau
film Disney Pixar Up? Film tentang pasangan suami istri yang punya
impian ke Paradise Falls. Akhirnya si istri meninggal sebelum impian mereka
terwujud.” Aku ingat film itu. Film yang unik karena menceritakan impian sepasang
suami istri untuk mengunjungi air terjun di Amerika Selatan bernama Paradise
Falls. Film produksi Disney Pixar ini mungkin menjadi salah satu film kartun
favorit, tidak hanya di kalangan anak-anak, tetapi juga orang dewasa.
“Si
suami masih berusaha mewujudkan impian mereka. Nerbangin rumahnya pakai balon
yang aku rasa mustahil di kehidupan nyata. Romantis gak sih kalo dibayangin?
Padahal bisa aja kan dia naik pesawat, gak harus susah-susah bawa rumahnya
untuk diterbangin pakai balon. Nah akulah balon itu. Bisa terbang karena diisi helium
dan terbawa angin.”
Ada
benarnya juga penjelasannya. Di film itu dijelaskan bahwa tidak ada sesuatu
yang mustahil. Tidak ada pula kata terlambat untuk meraih apa yang kita
impikan. Dia mengibaratkan dirinya sebagai balon udara karena bisa terbang
tinggi ke mana pun sebelum helium yang dimilikinya habis. Mungkin di zaman
dahulu juga seperti itu. Orang-orang berpergian dengan menggunakan balon udara
dan angin juga memengaruhi kecepatan terbangnya untuk sampai ke tempat tujuan.
Hmmm… lagi-lagi soal Fisika.
“Enggak
ada kata terlambat untuk meraih impian kita, selagi kita masih bernafas. Dare
to dream ya!” katanya sambil menutup ceritanya tadi.
Kok
jadi terharu ya, batinku. Secara tidak langsung, kehadirannya selalu memberikan
inspirasi tentang bagaimana harus lebih sering mengucap syukur. Aku tentu
bersyukur bisa bertemu lagi dengannya. Darinya, aku banyak belajar untuk
berusaha lebih keras lagi, pantang menyerah, dan bagaimana meraih impian itu sendiri.
Sebuah
pertanyaan spontan terlontar begitu saja, menanyakan kemungkinan lainnya, sebagai
penutup dari pertemuan malam ini, “Tapi sakit gak sih kalo ekspektasi dan
ambisi kita tiba-tiba dijatuhin gitu aja?”
“Sakit
udah pasti. Tapi ya kita harus tetap berjuang dong, jangan gampang nyerah.
Usaha pasti gak pernah mengkhianati hasil. Percaya deh.” Senyumnya kembali meyakinkanku.
Dan sepertinya aku harus sering bertemu dengan orang-orang seperti dirinya;
orang-orang yang memang memberikan dampak positif di kehidupanku, orang-orang
yang aku anggap penting.
Tidak
terasa waktu mulai enggan untuk tinggal berlama-lama. Waktu sudah memberikan satu
jam terakhirnya. Ia mulai mengundurkan diri. Rasanya masih ada sesuatu yang
belum tersampaikan, tapi apa ya? Matanya seolah ikut berbicara kalau dia masih
ingin bercerita banyak hal. Kami berpelukan. Entah pelukan ini memiliki makna
apa. Pelukan untuk merayakan pertemuan kembali atau pelukan berpamitan dengan
cara yang mengesankan.
“Makasih
ya buat hari ini. Pertemuan ini jadi hadiah ulang tahunku ke-27. Semoga
bisa ketemu lagi ya… tahun ini, di Jogja atau Jakarta,” kataku sebelum dia
pergi ikut ditelan oleh waktu. “Be great and be good ya. Text me when
you have arrived at home. See you veryyy soooon!”
“The
pleasure is all mine. Tenang, kita pasti masih bisa ketemu lagi kok. Tell
me if you go to Jakarta, okay?”
Akhirnya
waktu menutup malam dengan senyuman terindahnya. Menyisakan memori yang memang
sudah menjadi bagian dari rencana-Nya dalam sejarah hidup kami masing-masing.
Waktu memang berpihak pada kami malam ini, ia menghentikan hujan sesaat agar
kami bisa bersua. Menciptakan kesempatan yang pernah hilang selama dua tahun
karena kesempatan memang hadir untuk dicari, benar begitu kan?
‘I have arrived safe and sound,’ terlihat namanya muncul di layar ponsel dalam sebuah pesan elektronik yang dia kirim beberapa saat kemudian. Syukurlah dia sudah sampai di rumah dengan selamat. Hujan deras kembali hadir tanpa mengingat waktu.
Pertemuan dan perpisahan memang dua hal yang tidak bisa dihindari. People come and go─people also change, begitu kata pepatah. But he is still the same person and never changed. Terima kasih ya untuk hari ini. Semoga ke manapun kita pergi melangkah, langkah kita akan selalu dibimbing dan dijaga oleh-Nya. Selamat beristirahat agar esok pagi kau bisa bangun untuk kembali mewujudkan impianmu, kataku dalam hati.
Maria Ardianti Kurnia Sari
June 19th, 2022 10:31 PM