Jakarta, Ambience, and The People
#titikterangseries: do we feel at home in Jakarta?
JAKARTA...
Hai, aku di sini, kataku padanya.
Akhirnya ya, aku bertemu denganmu. Dengan versi yang berbeda. Bertemu denganmu,
senja di Jakarta. Ternyata seperti ini keadaanmu. Kamu terkenal di seluruh
dunia. Dikenal sebagai Ibukotanya Indonesia, pusat ekonomi di Indonesia, dream
city, bahkan polusimu sudah menjadi pemberitaan di dunia dan banyak jadi
buah bibir. Kamu enggak capek? Banyak orang dari banyak daerah juga berbondong-bondong
datang ke sini untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka.
Aku dan senja di
Jakarta. Begitu aku menyebutnya. Akhirnya aku pergi ke Jakarta, tahun ini,
menemuinya. Menjawab pertanyaan dari teman-temanku, “Kapan kamu ke Jakarta?”
Ini kali pertama aku tinggal lama di Jakarta, kurang lebih empat bulan.
Menyadari kalau kota ini memang dream city. Kesibukan di mana-mana,
macet, kecanggihan teknologi dan transportasi, tapi ada yang disayangkan, yaitu
kualitas udaranya. Aku suka naik MRT di Jakarta. Memang senyaman itu. Berbekal
kartu e-money, aku bisa menikmati fasilitas di stasiun MRT.
“Kira-kira di Jogja mungkin enggak ya punya MRT?” tanyaku pada
salah satu teman.
“Jogja belum perlu MRT, ke mana-mana masih bisa diakses dengan
mudah,” katanya.
Selama kira-kira 16
minggu di Jakarta, aku mulai nyaman dengan kota ini. Hanya kadang-kadang, ketika
bangun tidur dan membuka pintu rooftop, sering bertanya-tanya itu
polusi udara ya? Atau mendung? Mungkin bisa dibilang ini salah satu culture
shock ketika pertama kali menyadari kualitas udara di Jakarta. Hanya
beberapa kali saja, aku melihat langit biru di sini dengan awan putih yang
menghiasi langitnya, sisanya langit Jakarta berwarna abu-abu. Memang berbeda.
Kalau di Jogja, kita bisa melihat Gunung Merapi dan guratannya, ketika langit
sedang cerah. Kalau di Jakarta, pemandangan alam itu tidak ditemukan. Tidak ada
Gunung Merapi yang bersanding dengan Gunung Merbabu.
Gedung-gedung pencakar
langit di daerah Setiabudi, Jakarta Selatan, tempatku tinggal, menjadi hiasan
begitu mewah dan canggihnya kota ini. Pantas saja kalau katanya Jakarta akan
tenggelam di tahun 2050 dan jadi kota urutan pertama yang menghilang di tahun
2100. Lampu-lampu di setiap gedung pencakar langit itu berkelap-kelip layaknya
bintang di angkasa. Apakah orang-orang Jakarta pernah melihat
bintang-bintang di langit selain lampu-lampu dari gedung itu? tanyaku dalam
hati. Kasihan sekali mereka kalau belum pernah melihat gugusan bintang yang
menghiasi langit malam.
“Jakarta Selatan itu
banyak perkantoran, Mbak, pusatnya malah,” kata salah satu sopir ojek online
yang mengantarku berangkat kerja pagi itu.
Beberapa kali di setiap
malam yang cerah dan saat tidak mendung, aku suka menikmati malam dan duduk santai
di rooftop. Ada dua kursi di sana. Menatap ke langit. Sesekali menatap
gemerlapnya lampu gedung-gedung perkantoran itu. Beberapa masih menyala, apakah
mereka belum pulang? Lembur? Seperti ini ya rasanya hidup dan kerja
di Jakarta. Tidur larut malam, tapi harus bangun pagi, lalu bekerja lagi, dan
pulang malam lagi; begitu dan seterusnya setiap hari, kataku sambil mengobrol dengan
teman sekerja di rooftop, menanyakan pengalamannya tentang kota ini dan sudah
beberapa kali singgah di sini sambil berkeluh kesah ditemani dua kaleng minuman
berkarbonasi.
Kami sama-sama tidak
menatap ke langit, tidak ada bintang di sana. Lalu kami menatap gedung-gedung
pencakar langit di depan kami. Dari kejauhan tampak beberapa kali LRT melewati
terowongan, masih beroperasi hingga larut malam. Selama tinggal di Jakarta, aku
bahkan belum mencoba transportasi baru itu - LRT. Lagi-lagi bertarung dengan
waktu atau aku yang terlalu malas untuk mencobanya, entahlah. Aku beberapa kali
memfoto pemandangan gedung-gedung tinggi itu. Mengirimkannya ke salah satu
temanku yang tinggal di Benhil, Jakarta Pusat.
View dari rooftop, kataku di pesan
WhatsApp malam itu. Aku sengaja mengirimi dia foto karena aku tahu dia suka memfoto
gedung-gedung pencakar langit.
Curang! katanya di dalam pesan
singkat itu. Kenapa bisa lihat pemandangan sebagus itu? Aku jadi pingin
nongkrong di rooftop kosmu atau pindah tinggal di sana, katanya lagi. Dia
masih membalas pesanku. Dia belum tidur. Ya memang berbeda. Jam 23.00 masih
terlalu sore untuk sebagian orang di Jakarta. Mereka bekerja sampai larut malam
dan bahkan dini hari. Tapi apakah kesehatan mereka terjamin kalau punya pola
tidur seperti itu? Pantas saja kalau kadang-kadang dia mengabaikan pesan
singkat yang kukirim. Lalu sekarang aku tahu bagaimana dan apa yang dia rasakan
selama ini. Jakarta memang benar-benar mengubah kepribadian setiap orang di
dalamnya.
Jakarta. Dia juga memberikan pelajaran
berharga untuk tetap bersyukur karena setiap orang masih boleh bernapas
walaupun kualitas udaranya tidak bagus. Langit cerah
di Jakarta mungkin menjadi pemandangan yang langka di antara gedung-gedung
tinggi itu. Apakah mereka pernah lelah untuk tinggal dan menetap di Jakarta? Do
they feel at home in Jakarta? For me, I would say, Jakarta is a home, but Jogja will be the first and Bali the second.
*****
AMBIENCE…
Senja. Aku
menyebut diriku seperti itu walaupun aku sendiri tidak tahu kenapa banyak orang
menyukainya. Senja dan suasana di Jakarta adalah dua kombinasi yang sempurna. Suasana
dan senja di Jakarta tentunya berbeda 1800 dari Jogja. Jogja, yang
katanya terbuat dari ‘rindu’, ‘pulang’ dan ‘angkringan’, tapi Jakarta
sebaliknya, dia terbuat dari ‘impian’ dan ‘ambisi’. Aku memang belum pernah
tinggal lama di Jakarta, mungkin baru akan menuju dua tahun.
Suasana
kali ini sedikit berbeda. Aku tahu dia datang ke Jakarta, untuk tinggal selama mungkin
kurang lebih empat bulan. Akhirnya! Sebenarnya ada banyak kesempatan untuk
menemuinya selama dia di sini, di saat akhir minggu. Aku beberapa kali mencoba
menghubungi dan mengajaknya untuk bertemu, tapi beberapa kali pula dia sempat
menolak, mungkin karena aku memang mengajak dia bertemu dengan teman-temanku. Namun
kali ini, dia bilang mau bertemu tanpa teman-temanku. Aku akan kabulkan
permintaannya, sebelum dia pulang ke Jogja dua minggu lagi. Sedih sebenarnya,
kenapa dia tidak tinggal saja untuk selamanya di Jakarta bersamaku? Berulang
kali aku mengatakan itu supaya dia tetap tinggal di sini. Dan akhirnya siang
ini, aku coba untuk menghubunginya lagi.
Hi! Are
you free on Saturday? tanyaku
melalui pesan WhatsApp siang itu.
Yes, I
am. Would you like some coffee? Anomali Coffee Setiabudi One at 5 p.m.
Sure!
See you there! Akhirnya,
Sabtu ini kami akan bertemu, untuk pertama kalinya, di Jakarta.
Jam 17.03
sore, aku meneleponnya. Tidak diangkat. Aku menunggu di dekat fountain
Setiabudi One tempat janji temu kami. Itu dia, perempuan yang kutunggu sejak
tadi. Dia memakai baju berbahan linen dengan warna favoritnya, warna biru. Warna
favoritnya sama seperti warna favoritku. Senyumku mengembang walaupun tertutup
masker, tapi aku yakin kalau dia tahu wajahku tersenyum ketika aku melihatnya.
“Hi! Glad to see you in here!” aku menyapa pertama kali.
“Hi! Langsung ke Anomali Coffee aja? Biar
enak ngobrolnya,” wajahnya tersenyum.
“Sure!”
Kami
berjalan bersisian, memasuki salah satu coffee shop di Setiabudi One,
Anomali Coffee. Ambience di sini sungguh mendukung pertemuan kami sore
ini. Aku memilih tempat duduk di pojok ruangan supaya lebih nyaman untuk
mengobrol sembari menunggunya untuk memesan makanan. Lampu-lampu berwarna
oranye yang membuat nuansa coffee shop ini menjadi lebih hangat. Instrumen
musik bergaung di setiap speaker di sudut ruangan, menambah kesan
romantis dan temaram ditemani hot and ice caffé latte, almond donuts,
dan beef teriyaki rice bowl.
Pemandangan
di luar sana menyuguhkan gedung-gedung pencakar langit yang sudah menjadi ciri
khas Jakarta yang sesungguhnya. Aku menyukai itu, menyukai arsitektur
gedung-gedung tinggi yang seolah menggambarkan kegagahan dan kekuasaannya di
sini. Pemandangan di Jakarta memang mungkin tidak pernah ditemukan di tempat
lain, tidak ada sawah dan lahan luas, apalagi di saat senja. Beberapa kali LRT melewati
rel di seberang sana sehingga kami bisa melihatnya dari tempat duduk.
Menyuguhkan betapa modern dan canggihnya transportasi di Jakarta.
“Apa
kabar?” tanyanya sebagai pembuka percakapan kami.
“Baik dan sehat. Kamu? Finally, kamu sampai di
sini, di Jakarta.”
“Kabarku juga baik. Dua minggu lagi pulang ke Jogja
dan kita baru bisa bertemu sekarang, sungguh keterlaluan,” candanya, “tempat
dan waktu aku persilakan, sebelum aku tanya, kamu mau tanya apa duluan?
Hahaha…”
Aku
mengenal trik itu. Sebuah trik untuk membuka percakapan darinya. Mempersilakan
lawan bicaranya untuk bertanya lebih dulu karena aku tahu, dia pasti sudah punya
banyak pertanyaan untukku.
“Setelah sekian lama aku menunggumu untuk datang ke
sini. Gimana Jakarta? Udah jalan-jalan ke mana aja?”
“Jakarta keren, tapi enggak suka sama polusinya.
Langitnya mendung dan hanya beberapa kali aku lihat langit Jakarta berwarna
biru. Udah beberapa kali naik MRT, naik TransJakarta, pergi ke Glodok, PIK,
Perpusnas, Gereja Katedral, dan banyak lagi.”
“From those places, where are your favorite?”
“Hmm… I like Glodok. I have a favorite tea house in
Petak Enam. I love Jakarta Cathedral and I also like to chill in Bakoel Koffie
Cikini. I think those are my favorite places. We should go to Glodok together
when I come back here.”
“Hahaha… okay, just don’t forget about it.”
Aku
melihat sorot matanya berbinar-binar menceritakan kekagumannya itu. Aku suka
ketika melihat dia bercerita. Akupun tak menyadari kalau sedari tadi aku tidak
memalingkan tatapanku ke arahnya. Makanan di hadapanku sampai lupa kusentuh.
Sendok dan garpu saling beradu dengan beef teriyaki rice bowl
yang kami makan. Langit sedikit mendung sore ini dan sesekali cahaya kilat di
langit menandakan akan turun hujan malam ini. Tapi Jakarta adalah Jakarta,
prediksi BMKG pun tidak akan berpengaruh di sini. Kami tidak mengenal hujan
deras walaupun prediksi hari ini 100% akan turun hujan.
Obrolan
kami berlanjut, sembari masih menikmati beef teriyaki rice bowl dan caffé
latte yang tinggal setengah gelas.
“Tinggallah di sini untuk selamanya. Jangan pulang,”
kataku.
“Tapi…”
“Tapi apa?”
“Aku mau aja sih stay selamanya.”
“That’s
why, please stay here!”
“But for what? Give me the reason. Why do you want
me to stay? Kamu pun juga sering pulang kan? Masak iya aku sendirian di
sini? Do you already feel at home in Jakarta?”
“For now, I feel Jakarta is a home for me. I
live here, I work here, and I have many friends and communities. I know that
Jakarta is not my place of birth. So, don’t worry if you are alone in here.
I’ll be back because Jakarta is my primary place of residence. Jakarta
is more advanced for you. You can find great opportunities here. Do you
still remember our talks that night?”
Ya, malam itu obrolan kami di salah
satu rumah makan otentik berbentuk Joglo di Jogja, kami berbicara tentang
‘impian’ dan ‘ambisi’. Setelah ini mau ke mana? Mau lakukan apa? Jujur aku suka
obrolan kami waktu itu. Obrolan dari pertanyaan-pertanyaannya yang menyimpulkan
tentang impian dan ambisi. Aku pernah bilang waktu itu, dare to dream!
“Dan kamu sendiri juga pernah bilang tentang kata-kata
dari salah satu muridmu di sini, ‘Both of you can be an ambitious couple.
Don’t worry about that. Just DREAM BIG!’” sambungku lagi.
“Tapi kamu pernah capek enggak sih selama di Jakarta? How
do you feel when you become both, as a Jakartan and Yogyakartan? I think now I
know what you feel.”
“Ah I forget to answer those questions. Kalau
capek pasti pernah. Bisa bayangin kan ketika kamu disuruh ngerjain kerjaan yang
itu bukan passion kamu? Aku pernah ada di posisi itu. Kira-kira satu
minggu waktu itu dan capek banget.”
Menyaksikan
dan menikmati senja yang berbeda di salah satu coffee shop di Jakarta
dan ditemani orang yang special, teman masa kecilku. Aku tahu ini kali pertamanya
tinggal lama di kota ini, empat bulan. Aku juga tahu kalau banyak orang
mengidolakan Jakarta. Namun, mereka sering melewatkan beberapa senja di
Jakarta. Jam 16.00 banyak orang berkejaran dengan waktu untuk cepat-cepat
pulang ke rumah. Mereka naik transportasi umum. Kamu heran ya melihat mereka
beramai-ramai berjalan kaki pulang dan keluar dari salah satu gedung-gedung
pencakar langit itu? Tenang, kamu tidak sendirian, kataku dalam hati. Ada
banyak orang sepertimu yang juga ikut berpikir demikian. Jakarta
menjanjikan banyak hal di kehidupan mereka. Menjanjikan mimpi-mimpi itu. Betul
katamu. Jakarta adalah dream city.
Dua jam
berjalan dengan cepat. Senja berganti menjadi malam yang semakin gelap. Aku
sebenarnya masih ingin berbincang dengannya tapi aku harus menghadiri janji
temu berikutnya.
“Thank you for today. It was nice to see you again in
here.”
Does it have to end now? Tanyaku lagi dalam hati. “The
pleasure was all mine. Thank you for the presents and the coffee too.”
“Let’s have a hug and promise me
that we’ll meet again next year!”
Satu
minggu berjalan lebih cepat. Why does a week go really fast? Aku masih
ingat pertanyaan yang dia lontarkan melalui pesan di WhatsApp di saat jam
kerja. Not only a week, but a year seems to just fly by, balasku pada
pesan pendek itu. Pesan itu mengingatkanku kalau dia tinggal satu minggu lagi
di Jakarta. Kenapa dia tidak lebih memilih tinggal di sini, bersamaku?
Dan memang betul, satu minggu bahkan satu tahun berjalan dengan begitu cepat.
Rasanya baru kemarin Natal 2022 aku bertemu dengannya di Jogja dan sekarang
sudah menjelang Natal 2023 yang entahlah apakah aku bisa pulang atau tidak.
Ting… Kudengar HPku berbunyi. Aku masih
terlelap, kira-kira jam 05.41 dia mengirim pesan melalui WhatApp dan sekarang
tanggal 16 Desember 2023.
I’m leaving for Jogja this morning at 06.20. Stay healthy and promise me that we’ll meet in 2024. Happy holidays and see you!
Dia pulang pagi ini dari Stasiun
Gambir. Kenapa terlalu pagi? Kenapa
waktu berjalan begitu cepat? Seandainya aku bisa mengantarkannya sampai ke
Stasiun Gambir, tapi itu pasti akan terlalu dramatis untuk sebuah perpisahan
singkat di dunia nyata. Masih dengan muka yang mengantuk, aku membalas pesan
itu,
Why so
early? Stay healthy too and see you next year! Safe journey home…
I wish she will come back as soon
as possible,
kataku sambil bergumam dan menatap keluar jendela dan menyaksikan sinar
matahari mulai masuk melalui celah ventilasi di kamarku. Melihat jam sekali
lagi dan kembali berkata dalam hati, yeah, time really does fly so fast.
*****
THE PEOPLE…
“Kamu
sesekali bisa loh ke Jakarta buat recharge energi. Biar tau gimana pola
kerja orang-orang Jakarta dan bisa bikin kamu semangat kerjanya,” kata Omku
setahun lalu. Dan kesempatan itu datang setahun kemudian. Menyaksikan sendiri
bagaimana banyak orang berjuang di salah satu kota besar di Indonesia ini.
Mungkin aku terlalu aneh untuk mengamati bagaimana kehidupan orang-orang di
Jakarta. Mereka mulai bekerja di pagi hari dan pulang beramai-ramai saat
matahari sudah mulai tenggelam.
Jakarta
punya banyak cerita tentang orang-orang yang sudah lama tinggal di dalamnya. Dia
memang menjadi dream city bagi sebagian orang. Memberikan kehidupan yang
lebih baik dengan beragam kesempatan dan pekerjaan. Obrolan itu beberapa kali
aku dapatkan dari sopir ojek online dan penjual warteg. Keramahan mereka
memudarkan persepsiku tentang Jakarta kalau tidak semua orang itu jahat. Pernah
sekali waktu ketika aku mau pergi ke Pasar Baru, ada sopir ojek online
yang menanyaiku,
“Mbak
bukan orang Muslim ya?”
“Kok tau,
Pak?”
“Iya, dari
penampilannya beda aja, Mbak. Udah berapa lama di Jakarta?”
“Baru
seminggu, Pak. Saya belum banyak hafal jalanan di Jakarta.”
“Harus
hati-hati juga Mbak sama orang. Tapi banyak kok orang baik di Jakarta.” Dari
kata-kata bapak ojek inilah, aku kemudian percaya kalau Jakarta tidak
se-menakutkan itu. Dulu mungkin banyak orang akan berpikir kalau di sini harus
hati-hati karena kalau terlihat seperti orang bingung, bisa ditipu
habis-habisan.
Kisah lain
yang aku dapatkan dan membuatku sedih adalah sewaktu aku pulang bekerja.
Seperti biasa aku akan memesan ojek online. Seorang bapak yang
menjemputku bertanya tentang pekerjaanku dan beliaupun juga menceritakan
pengalamannya kalau beliau dulu pernah menikah dan punya anak kembar perempuan.
Usia anak-anaknya tidak jauh berbeda dariku, kami seumuran. Tapi sayangnya
sejak tragedi 98 waktu itu, mereka memutuskan untuk bercerai. Sang mantan istri
dan dua anak kembarnya merantau ke Amerika Serikat. Katanya mereka tinggal di
California. Si bapak kembali bertanya, “Kalau ke Amerika syaratnya apa aja ya
Mbak?”
“Setahu
saya sih Pak, harus punya tabungan dan sponsor untuk tinggal di sana.”
“Saya cuma kepingin jenguk anak saya di sana. Seminggu
aja. Dan saya juga enggak akan maksa kalau anak saya enggak jadi sponsor selama
saya di sana.”
“Wah kalau
seminggu rugi banget, Pak. Tiket ke Amerika kan mahal dan juga jauh kan Pak.
Setidaknya satu bulan Pak di Amerika. Jadi bapak enggak akan rugi keluar banyak
uang,” kataku menambahkan. Dalam hati pula aku berkata, semoga bapak ini
nantinya akan bernasib baik dan bisa bertemu dengan anak-anaknya walaupun harus
terbang jauh ke Amerika.
Aku kagum
dengan mereka yang menganggap ‘Jakarta sebagai rumah’. Pasti alasan pertama
mereka datang ke Jakarta, tidak lain dan bukan, adalah untuk memperbaiki
ekonomi keluarga. Beberapa sopir ojek online yang mengajakku bicara selama
perjalanan pulang selalu aku tanya dari mana mereka berasal. Rata-rata datang
dari Jawa Tengah dan memang sudah lama tinggal di Jakarta sehingga logat
berbicara mereka sudah logat Jakarta. Tapi, meskipun mereka sudah lama tinggal
di kota ini, tidak mungkin juga mereka lupa dengan Bahasa Jawa.
Ada lagi
cerita dari seorang yang menceritakan latar belakang pekerjaannya sebelum
menjadi sopir ojek online. Beliau dulu pernah bekerja di kapal pesiar,
lalu pulang ke Indonesia dan bekerja di Hotel Marriot Jakarta. Karena pandemi,
akhirnya beliau memilih untuk menjadi sopir ojek online. Mungkin
pekerjaan beliau yang sekarang lebih menjanjikan. Bisa bertemu banyak orang
yang berbeda secara langsung dan mengobrol dengan mereka. Beberapa sopir ojek online
yang aku temui rata-rata enak untuk diajak mengobrol dan ya, sesekali belajar
tentang kehidupan di kota besar ini.
Ada banyak
orang yang aku temui selama di Jakarta, mungkin puluhan orang. Aku sering
membeli makan siang di luar kantor, biasanya di Warung Tenda Oranye atau Tenda
Biru. Orang-orang di kantorku bahkan klienku menyukai menu makan di dua warung
itu. Selain harganya lebih murah dan terjangkau, mereka juga menjual variasi
makanan (meskipun tidak janji kalau makanan itu higienis atau tidak). Saking
seringnya aku makan di Warung Tenda Oranye, aku bahkan sudah mengenal ibu-ibu
yang berjualan di sana. Selama kurang lebih hamper empat bulan aku di Jakarta,
di hari terakhir bekerja di Jakarta, aku baru berkenalan dengan mereka sekalian
berpamitan karena besok pagi harus pulang ke Jogja. Kedua ibu itu tentu saja
merasa akan kehilangan pelanggan di warung makannya. Biasanya mereka akan
menyapa, “Kok udah lama enggak makan di sini, Neng? Mau makan apa, Neng? Makan
di sini atau dibungkus?”
Tiba
saatnya di hari Jumat, 15 Desember 2023. Hari terakhir bekerja di sini dan
entah kapan akan kembali. Tapi sudah pasti, tahun depan akan kembali. Aku
berpamitan dengan dua ibu di Warung Tenda Oranye itu, “Halo Bu, besok pagi saya
pulang ke Jogja. Mungkin kita akan bertemu lagi tahun depan.”
“Yah, kok pulang, Neng? Eneng asli Jogja? Bapak saya
orang Jogja,” logat Betawi Ibu Norma masih terngiang jelas di telingaku.
“Iya, Ibu. Program kerja saya di sini sudah selesai
hari ini. Semoga bisa bertemu lagi ya Bu tahun depan. Kalau saya kembali lagi,
saya akan mampir ke sini,” kataku lagi.
“Ya udah,
Neng. Naik apa besok ke Jogjanya?”
“Naik
kereta api dari Gambir, Bu, jam 06.20.”
“Pagi banget ya! Hati-hati ya, Neng! Sehat terus dan
Insyaallah ketemu lagi tahun depan.”
“Makasih
banyak ya, Bu. Sampai jumpa lagi tahun depan.”
Jakarta
memberikan kesan terbaik melalui suasana dan orang-orangnya. Di setiap
pertemuan pasti selalu ada perpisahan, kan? Dan di setiap pertemuan selalu
memberikan impresi, baik itu baik atau buruk. Baru kali ini juga aku bisa
bercengkerama dengan beberapa orang baru yang aku temui di Jakarta. Jakarta
memang keras dengan orang-orangnya yang mungkin tidak mau mengalah di jalan
raya, saling membunyikan klakson padahal lampu hijau belum menyala. Semua orang
tampak terburu-buru dan tidak bisa menikmati waktu dengan baik. Satu minggu
berjalan dengan cepat dan hari Jumat menjadi salah satu hari yang dinantikan
sebelum kembali lagi ke hari Senin dan bersiap untuk pergi bekerja lagi. Sebelum
memulai hari Senin dan segala kesibukannya di Jakarta, ada pertanyaan darinya
yang masih terngiang di otakku,
“Jadi,
gimana? Suka Jakarta?”
“Hmmm… I think I started falling in
love with Jakarta.”
“Hahaha… really? Be careful with that since you will fall in
love with other things when you come back here.”
Jakarta,
15 Desember 2023
Maria
Ardianti Kurnia Sari