Jakarta, Ambience, and The People

 #titikterangseries: do we feel at home in Jakarta?

JAKARTA...

Hai, aku di sini, kataku padanya. Akhirnya ya, aku bertemu denganmu. Dengan versi yang berbeda. Bertemu denganmu, senja di Jakarta. Ternyata seperti ini keadaanmu. Kamu terkenal di seluruh dunia. Dikenal sebagai Ibukotanya Indonesia, pusat ekonomi di Indonesia, dream city, bahkan polusimu sudah menjadi pemberitaan di dunia dan banyak jadi buah bibir. Kamu enggak capek? Banyak orang dari banyak daerah juga berbondong-bondong datang ke sini untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka.

Aku dan senja di Jakarta. Begitu aku menyebutnya. Akhirnya aku pergi ke Jakarta, tahun ini, menemuinya. Menjawab pertanyaan dari teman-temanku, “Kapan kamu ke Jakarta?” Ini kali pertama aku tinggal lama di Jakarta, kurang lebih empat bulan. Menyadari kalau kota ini memang dream city. Kesibukan di mana-mana, macet, kecanggihan teknologi dan transportasi, tapi ada yang disayangkan, yaitu kualitas udaranya. Aku suka naik MRT di Jakarta. Memang senyaman itu. Berbekal kartu e-money, aku bisa menikmati fasilitas di stasiun MRT.

“Kira-kira di Jogja mungkin enggak ya punya MRT?” tanyaku pada salah satu teman.

“Jogja belum perlu MRT, ke mana-mana masih bisa diakses dengan mudah,” katanya.

Selama kira-kira 16 minggu di Jakarta, aku mulai nyaman dengan kota ini. Hanya kadang-kadang, ketika bangun tidur dan membuka pintu rooftop, sering bertanya-tanya itu polusi udara ya? Atau mendung? Mungkin bisa dibilang ini salah satu culture shock ketika pertama kali menyadari kualitas udara di Jakarta. Hanya beberapa kali saja, aku melihat langit biru di sini dengan awan putih yang menghiasi langitnya, sisanya langit Jakarta berwarna abu-abu. Memang berbeda. Kalau di Jogja, kita bisa melihat Gunung Merapi dan guratannya, ketika langit sedang cerah. Kalau di Jakarta, pemandangan alam itu tidak ditemukan. Tidak ada Gunung Merapi yang bersanding dengan Gunung Merbabu.

Gedung-gedung pencakar langit di daerah Setiabudi, Jakarta Selatan, tempatku tinggal, menjadi hiasan begitu mewah dan canggihnya kota ini. Pantas saja kalau katanya Jakarta akan tenggelam di tahun 2050 dan jadi kota urutan pertama yang menghilang di tahun 2100. Lampu-lampu di setiap gedung pencakar langit itu berkelap-kelip layaknya bintang di angkasa. Apakah orang-orang Jakarta pernah melihat bintang-bintang di langit selain lampu-lampu dari gedung itu? tanyaku dalam hati. Kasihan sekali mereka kalau belum pernah melihat gugusan bintang yang menghiasi langit malam.

“Jakarta Selatan itu banyak perkantoran, Mbak, pusatnya malah,” kata salah satu sopir ojek online yang mengantarku berangkat kerja pagi itu. 

Beberapa kali di setiap malam yang cerah dan saat tidak mendung, aku suka menikmati malam dan duduk santai di rooftop. Ada dua kursi di sana. Menatap ke langit. Sesekali menatap gemerlapnya lampu gedung-gedung perkantoran itu. Beberapa masih menyala, apakah mereka belum pulang? Lembur? Seperti ini ya rasanya hidup dan kerja di Jakarta. Tidur larut malam, tapi harus bangun pagi, lalu bekerja lagi, dan pulang malam lagi; begitu dan seterusnya setiap hari, kataku sambil mengobrol dengan teman sekerja di rooftop, menanyakan pengalamannya tentang kota ini dan sudah beberapa kali singgah di sini sambil berkeluh kesah ditemani dua kaleng minuman berkarbonasi. 

Kami sama-sama tidak menatap ke langit, tidak ada bintang di sana. Lalu kami menatap gedung-gedung pencakar langit di depan kami. Dari kejauhan tampak beberapa kali LRT melewati terowongan, masih beroperasi hingga larut malam. Selama tinggal di Jakarta, aku bahkan belum mencoba transportasi baru itu - LRT. Lagi-lagi bertarung dengan waktu atau aku yang terlalu malas untuk mencobanya, entahlah. Aku beberapa kali memfoto pemandangan gedung-gedung tinggi itu. Mengirimkannya ke salah satu temanku yang tinggal di Benhil, Jakarta Pusat.

View dari rooftop, kataku di pesan WhatsApp malam itu. Aku sengaja mengirimi dia foto karena aku tahu dia suka memfoto gedung-gedung pencakar langit.

Curang! katanya di dalam pesan singkat itu. Kenapa bisa lihat pemandangan sebagus itu? Aku jadi pingin nongkrong di rooftop kosmu atau pindah tinggal di sana, katanya lagi. Dia masih membalas pesanku. Dia belum tidur. Ya memang berbeda. Jam 23.00 masih terlalu sore untuk sebagian orang di Jakarta. Mereka bekerja sampai larut malam dan bahkan dini hari. Tapi apakah kesehatan mereka terjamin kalau punya pola tidur seperti itu? Pantas saja kalau kadang-kadang dia mengabaikan pesan singkat yang kukirim. Lalu sekarang aku tahu bagaimana dan apa yang dia rasakan selama ini. Jakarta memang benar-benar mengubah kepribadian setiap orang di dalamnya.

Jakarta. Dia juga memberikan pelajaran berharga untuk tetap bersyukur karena setiap orang masih boleh bernapas walaupun kualitas udaranya tidak bagus. Langit cerah di Jakarta mungkin menjadi pemandangan yang langka di antara gedung-gedung tinggi itu. Apakah mereka pernah lelah untuk tinggal dan menetap di Jakarta? Do they feel at home in Jakarta? For me, I would say, Jakarta is a home, but Jogja will be the first and Bali the second.

 

*****



AMBIENCE…

Senja. Aku menyebut diriku seperti itu walaupun aku sendiri tidak tahu kenapa banyak orang menyukainya. Senja dan suasana di Jakarta adalah dua kombinasi yang sempurna. Suasana dan senja di Jakarta tentunya berbeda 1800 dari Jogja. Jogja, yang katanya terbuat dari ‘rindu’, ‘pulang’ dan ‘angkringan’, tapi Jakarta sebaliknya, dia terbuat dari ‘impian’ dan ‘ambisi’. Aku memang belum pernah tinggal lama di Jakarta, mungkin baru akan menuju dua tahun.

Suasana kali ini sedikit berbeda. Aku tahu dia datang ke Jakarta, untuk tinggal selama mungkin kurang lebih empat bulan. Akhirnya! Sebenarnya ada banyak kesempatan untuk menemuinya selama dia di sini, di saat akhir minggu. Aku beberapa kali mencoba menghubungi dan mengajaknya untuk bertemu, tapi beberapa kali pula dia sempat menolak, mungkin karena aku memang mengajak dia bertemu dengan teman-temanku. Namun kali ini, dia bilang mau bertemu tanpa teman-temanku. Aku akan kabulkan permintaannya, sebelum dia pulang ke Jogja dua minggu lagi. Sedih sebenarnya, kenapa dia tidak tinggal saja untuk selamanya di Jakarta bersamaku? Berulang kali aku mengatakan itu supaya dia tetap tinggal di sini. Dan akhirnya siang ini, aku coba untuk menghubunginya lagi.

Hi! Are you free on Saturday? tanyaku melalui pesan WhatsApp siang itu.

Yes, I am. Would you like some coffee? Anomali Coffee Setiabudi One at 5 p.m.

Sure! See you there! Akhirnya, Sabtu ini kami akan bertemu, untuk pertama kalinya, di Jakarta.

Jam 17.03 sore, aku meneleponnya. Tidak diangkat. Aku menunggu di dekat fountain Setiabudi One tempat janji temu kami. Itu dia, perempuan yang kutunggu sejak tadi. Dia memakai baju berbahan linen dengan warna favoritnya, warna biru. Warna favoritnya sama seperti warna favoritku. Senyumku mengembang walaupun tertutup masker, tapi aku yakin kalau dia tahu wajahku tersenyum ketika aku melihatnya.

“Hi! Glad to see you in here!” aku menyapa pertama kali.

Hi! Langsung ke Anomali Coffee aja? Biar enak ngobrolnya,” wajahnya tersenyum.

“Sure!”

Kami berjalan bersisian, memasuki salah satu coffee shop di Setiabudi One, Anomali Coffee. Ambience di sini sungguh mendukung pertemuan kami sore ini. Aku memilih tempat duduk di pojok ruangan supaya lebih nyaman untuk mengobrol sembari menunggunya untuk memesan makanan. Lampu-lampu berwarna oranye yang membuat nuansa coffee shop ini menjadi lebih hangat. Instrumen musik bergaung di setiap speaker di sudut ruangan, menambah kesan romantis dan temaram ditemani hot and ice caffé latte, almond donuts, dan beef teriyaki rice bowl.

Pemandangan di luar sana menyuguhkan gedung-gedung pencakar langit yang sudah menjadi ciri khas Jakarta yang sesungguhnya. Aku menyukai itu, menyukai arsitektur gedung-gedung tinggi yang seolah menggambarkan kegagahan dan kekuasaannya di sini. Pemandangan di Jakarta memang mungkin tidak pernah ditemukan di tempat lain, tidak ada sawah dan lahan luas, apalagi di saat senja. Beberapa kali LRT melewati rel di seberang sana sehingga kami bisa melihatnya dari tempat duduk. Menyuguhkan betapa modern dan canggihnya transportasi di Jakarta.

“Apa kabar?” tanyanya sebagai pembuka percakapan kami.

“Baik dan sehat. Kamu? Finally, kamu sampai di sini, di Jakarta.”

“Kabarku juga baik. Dua minggu lagi pulang ke Jogja dan kita baru bisa bertemu sekarang, sungguh keterlaluan,” candanya, “tempat dan waktu aku persilakan, sebelum aku tanya, kamu mau tanya apa duluan? Hahaha…”

Aku mengenal trik itu. Sebuah trik untuk membuka percakapan darinya. Mempersilakan lawan bicaranya untuk bertanya lebih dulu karena aku tahu, dia pasti sudah punya banyak pertanyaan untukku.

“Setelah sekian lama aku menunggumu untuk datang ke sini. Gimana Jakarta? Udah jalan-jalan ke mana aja?”

“Jakarta keren, tapi enggak suka sama polusinya. Langitnya mendung dan hanya beberapa kali aku lihat langit Jakarta berwarna biru. Udah beberapa kali naik MRT, naik TransJakarta, pergi ke Glodok, PIK, Perpusnas, Gereja Katedral, dan banyak lagi.”

From those places, where are your favorite?

Hmm… I like Glodok. I have a favorite tea house in Petak Enam. I love Jakarta Cathedral and I also like to chill in Bakoel Koffie Cikini. I think those are my favorite places. We should go to Glodok together when I come back here.

Hahaha… okay, just don’t forget about it.

Aku melihat sorot matanya berbinar-binar menceritakan kekagumannya itu. Aku suka ketika melihat dia bercerita. Akupun tak menyadari kalau sedari tadi aku tidak memalingkan tatapanku ke arahnya. Makanan di hadapanku sampai lupa kusentuh. Sendok dan garpu saling beradu dengan beef teriyaki rice bowl yang kami makan. Langit sedikit mendung sore ini dan sesekali cahaya kilat di langit menandakan akan turun hujan malam ini. Tapi Jakarta adalah Jakarta, prediksi BMKG pun tidak akan berpengaruh di sini. Kami tidak mengenal hujan deras walaupun prediksi hari ini 100% akan turun hujan.

Obrolan kami berlanjut, sembari masih menikmati beef teriyaki rice bowl dan caffé latte yang tinggal setengah gelas.

“Tinggallah di sini untuk selamanya. Jangan pulang,” kataku.

“Tapi…”

“Tapi apa?”

“Aku mau aja sih stay selamanya.”

“That’s why, please stay here!”

But for what? Give me the reason. Why do you want me to stay? Kamu pun juga sering pulang kan? Masak iya aku sendirian di sini? Do you already feel at home in Jakarta?

For now, I feel Jakarta is a home for me. I live here, I work here, and I have many friends and communities. I know that Jakarta is not my place of birth. So, don’t worry if you are alone in here. I’ll be back because Jakarta is my primary place of residence. Jakarta is more advanced for you. You can find great opportunities here. Do you still remember our talks that night?

Ya, malam itu obrolan kami di salah satu rumah makan otentik berbentuk Joglo di Jogja, kami berbicara tentang ‘impian’ dan ‘ambisi’. Setelah ini mau ke mana? Mau lakukan apa? Jujur aku suka obrolan kami waktu itu. Obrolan dari pertanyaan-pertanyaannya yang menyimpulkan tentang impian dan ambisi. Aku pernah bilang waktu itu, dare to dream!

“Dan kamu sendiri juga pernah bilang tentang kata-kata dari salah satu muridmu di sini, ‘Both of you can be an ambitious couple. Don’t worry about that. Just DREAM BIG!’” sambungku lagi.

“Tapi kamu pernah capek enggak sih selama di Jakarta? How do you feel when you become both, as a Jakartan and Yogyakartan? I think now I know what you feel.

Ah I forget to answer those questions. Kalau capek pasti pernah. Bisa bayangin kan ketika kamu disuruh ngerjain kerjaan yang itu bukan passion kamu? Aku pernah ada di posisi itu. Kira-kira satu minggu waktu itu dan capek banget.”

Menyaksikan dan menikmati senja yang berbeda di salah satu coffee shop di Jakarta dan ditemani orang yang special, teman masa kecilku. Aku tahu ini kali pertamanya tinggal lama di kota ini, empat bulan. Aku juga tahu kalau banyak orang mengidolakan Jakarta. Namun, mereka sering melewatkan beberapa senja di Jakarta. Jam 16.00 banyak orang berkejaran dengan waktu untuk cepat-cepat pulang ke rumah. Mereka naik transportasi umum. Kamu heran ya melihat mereka beramai-ramai berjalan kaki pulang dan keluar dari salah satu gedung-gedung pencakar langit itu? Tenang, kamu tidak sendirian, kataku dalam hati. Ada banyak orang sepertimu yang juga ikut berpikir demikian. Jakarta menjanjikan banyak hal di kehidupan mereka. Menjanjikan mimpi-mimpi itu. Betul katamu. Jakarta adalah dream city.

Dua jam berjalan dengan cepat. Senja berganti menjadi malam yang semakin gelap. Aku sebenarnya masih ingin berbincang dengannya tapi aku harus menghadiri janji temu berikutnya.

Thank you for today. It was nice to see you again in here.”

Does it have to end now? Tanyaku lagi dalam hati. “The pleasure was all mine. Thank you for the presents and the coffee too.”

“Let’s have a hug and promise me that we’ll meet again next year!”

Satu minggu berjalan lebih cepat. Why does a week go really fast? Aku masih ingat pertanyaan yang dia lontarkan melalui pesan di WhatsApp di saat jam kerja. Not only a week, but a year seems to just fly by, balasku pada pesan pendek itu. Pesan itu mengingatkanku kalau dia tinggal satu minggu lagi di Jakarta. Kenapa dia tidak lebih memilih tinggal di sini, bersamaku? Dan memang betul, satu minggu bahkan satu tahun berjalan dengan begitu cepat. Rasanya baru kemarin Natal 2022 aku bertemu dengannya di Jogja dan sekarang sudah menjelang Natal 2023 yang entahlah apakah aku bisa pulang atau tidak.

Ting… Kudengar HPku berbunyi. Aku masih terlelap, kira-kira jam 05.41 dia mengirim pesan melalui WhatApp dan sekarang tanggal 16 Desember 2023.

I’m leaving for Jogja this morning at 06.20. Stay healthy and promise me that we’ll meet in 2024. Happy holidays and see you! 

Dia pulang pagi ini dari Stasiun Gambir. Kenapa terlalu pagi?  Kenapa waktu berjalan begitu cepat? Seandainya aku bisa mengantarkannya sampai ke Stasiun Gambir, tapi itu pasti akan terlalu dramatis untuk sebuah perpisahan singkat di dunia nyata. Masih dengan muka yang mengantuk, aku membalas pesan itu,

Why so early? Stay healthy too and see you next year! Safe journey home…

I wish she will come back as soon as possible, kataku sambil bergumam dan menatap keluar jendela dan menyaksikan sinar matahari mulai masuk melalui celah ventilasi di kamarku. Melihat jam sekali lagi dan kembali berkata dalam hati, yeah, time really does fly so fast.

 

*****

 

THE PEOPLE…

“Kamu sesekali bisa loh ke Jakarta buat recharge energi. Biar tau gimana pola kerja orang-orang Jakarta dan bisa bikin kamu semangat kerjanya,” kata Omku setahun lalu. Dan kesempatan itu datang setahun kemudian. Menyaksikan sendiri bagaimana banyak orang berjuang di salah satu kota besar di Indonesia ini. Mungkin aku terlalu aneh untuk mengamati bagaimana kehidupan orang-orang di Jakarta. Mereka mulai bekerja di pagi hari dan pulang beramai-ramai saat matahari sudah mulai tenggelam.

Jakarta punya banyak cerita tentang orang-orang yang sudah lama tinggal di dalamnya. Dia memang menjadi dream city bagi sebagian orang. Memberikan kehidupan yang lebih baik dengan beragam kesempatan dan pekerjaan. Obrolan itu beberapa kali aku dapatkan dari sopir ojek online dan penjual warteg. Keramahan mereka memudarkan persepsiku tentang Jakarta kalau tidak semua orang itu jahat. Pernah sekali waktu ketika aku mau pergi ke Pasar Baru, ada sopir ojek online yang menanyaiku,

“Mbak bukan orang Muslim ya?”

“Kok tau, Pak?”

“Iya, dari penampilannya beda aja, Mbak. Udah berapa lama di Jakarta?”

“Baru seminggu, Pak. Saya belum banyak hafal jalanan di Jakarta.”

“Harus hati-hati juga Mbak sama orang. Tapi banyak kok orang baik di Jakarta.” Dari kata-kata bapak ojek inilah, aku kemudian percaya kalau Jakarta tidak se-menakutkan itu. Dulu mungkin banyak orang akan berpikir kalau di sini harus hati-hati karena kalau terlihat seperti orang bingung, bisa ditipu habis-habisan.

Kisah lain yang aku dapatkan dan membuatku sedih adalah sewaktu aku pulang bekerja. Seperti biasa aku akan memesan ojek online. Seorang bapak yang menjemputku bertanya tentang pekerjaanku dan beliaupun juga menceritakan pengalamannya kalau beliau dulu pernah menikah dan punya anak kembar perempuan. Usia anak-anaknya tidak jauh berbeda dariku, kami seumuran. Tapi sayangnya sejak tragedi 98 waktu itu, mereka memutuskan untuk bercerai. Sang mantan istri dan dua anak kembarnya merantau ke Amerika Serikat. Katanya mereka tinggal di California. Si bapak kembali bertanya, “Kalau ke Amerika syaratnya apa aja ya Mbak?”

“Setahu saya sih Pak, harus punya tabungan dan sponsor untuk tinggal di sana.”

“Saya cuma kepingin jenguk anak saya di sana. Seminggu aja. Dan saya juga enggak akan maksa kalau anak saya enggak jadi sponsor selama saya di sana.”

“Wah kalau seminggu rugi banget, Pak. Tiket ke Amerika kan mahal dan juga jauh kan Pak. Setidaknya satu bulan Pak di Amerika. Jadi bapak enggak akan rugi keluar banyak uang,” kataku menambahkan. Dalam hati pula aku berkata, semoga bapak ini nantinya akan bernasib baik dan bisa bertemu dengan anak-anaknya walaupun harus terbang jauh ke Amerika.

Aku kagum dengan mereka yang menganggap ‘Jakarta sebagai rumah’. Pasti alasan pertama mereka datang ke Jakarta, tidak lain dan bukan, adalah untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Beberapa sopir ojek online yang mengajakku bicara selama perjalanan pulang selalu aku tanya dari mana mereka berasal. Rata-rata datang dari Jawa Tengah dan memang sudah lama tinggal di Jakarta sehingga logat berbicara mereka sudah logat Jakarta. Tapi, meskipun mereka sudah lama tinggal di kota ini, tidak mungkin juga mereka lupa dengan Bahasa Jawa.

Ada lagi cerita dari seorang yang menceritakan latar belakang pekerjaannya sebelum menjadi sopir ojek online. Beliau dulu pernah bekerja di kapal pesiar, lalu pulang ke Indonesia dan bekerja di Hotel Marriot Jakarta. Karena pandemi, akhirnya beliau memilih untuk menjadi sopir ojek online. Mungkin pekerjaan beliau yang sekarang lebih menjanjikan. Bisa bertemu banyak orang yang berbeda secara langsung dan mengobrol dengan mereka. Beberapa sopir ojek online yang aku temui rata-rata enak untuk diajak mengobrol dan ya, sesekali belajar tentang kehidupan di kota besar ini.

Ada banyak orang yang aku temui selama di Jakarta, mungkin puluhan orang. Aku sering membeli makan siang di luar kantor, biasanya di Warung Tenda Oranye atau Tenda Biru. Orang-orang di kantorku bahkan klienku menyukai menu makan di dua warung itu. Selain harganya lebih murah dan terjangkau, mereka juga menjual variasi makanan (meskipun tidak janji kalau makanan itu higienis atau tidak). Saking seringnya aku makan di Warung Tenda Oranye, aku bahkan sudah mengenal ibu-ibu yang berjualan di sana. Selama kurang lebih hamper empat bulan aku di Jakarta, di hari terakhir bekerja di Jakarta, aku baru berkenalan dengan mereka sekalian berpamitan karena besok pagi harus pulang ke Jogja. Kedua ibu itu tentu saja merasa akan kehilangan pelanggan di warung makannya. Biasanya mereka akan menyapa, “Kok udah lama enggak makan di sini, Neng? Mau makan apa, Neng? Makan di sini atau dibungkus?”

Tiba saatnya di hari Jumat, 15 Desember 2023. Hari terakhir bekerja di sini dan entah kapan akan kembali. Tapi sudah pasti, tahun depan akan kembali. Aku berpamitan dengan dua ibu di Warung Tenda Oranye itu, “Halo Bu, besok pagi saya pulang ke Jogja. Mungkin kita akan bertemu lagi tahun depan.”

“Yah, kok pulang, Neng? Eneng asli Jogja? Bapak saya orang Jogja,” logat Betawi Ibu Norma masih terngiang jelas di telingaku.

“Iya, Ibu. Program kerja saya di sini sudah selesai hari ini. Semoga bisa bertemu lagi ya Bu tahun depan. Kalau saya kembali lagi, saya akan mampir ke sini,” kataku lagi.

“Ya udah, Neng. Naik apa besok ke Jogjanya?”

“Naik kereta api dari Gambir, Bu, jam 06.20.”

“Pagi banget ya! Hati-hati ya, Neng! Sehat terus dan Insyaallah ketemu lagi tahun depan.”

“Makasih banyak ya, Bu. Sampai jumpa lagi tahun depan.” 

Jakarta memberikan kesan terbaik melalui suasana dan orang-orangnya. Di setiap pertemuan pasti selalu ada perpisahan, kan? Dan di setiap pertemuan selalu memberikan impresi, baik itu baik atau buruk. Baru kali ini juga aku bisa bercengkerama dengan beberapa orang baru yang aku temui di Jakarta. Jakarta memang keras dengan orang-orangnya yang mungkin tidak mau mengalah di jalan raya, saling membunyikan klakson padahal lampu hijau belum menyala. Semua orang tampak terburu-buru dan tidak bisa menikmati waktu dengan baik. Satu minggu berjalan dengan cepat dan hari Jumat menjadi salah satu hari yang dinantikan sebelum kembali lagi ke hari Senin dan bersiap untuk pergi bekerja lagi. Sebelum memulai hari Senin dan segala kesibukannya di Jakarta, ada pertanyaan darinya yang masih terngiang di otakku,

“Jadi, gimana? Suka Jakarta?”

“Hmmm… I think I started falling in love with Jakarta.

Hahaha… really?  Be careful with that since you will fall in love with other things when you come back here.”

 



Jakarta, 15 Desember 2023

Maria Ardianti Kurnia Sari

Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

If We Hold On Together