Cerita Pendek
Kisah
Sederhana
Kisah
ini aku awali ketika aku masih di sekolah. Saat menunggu bel pulang tiba-tiba
hanphoneku menyala sebagai tanda ada sebuah SMS masuk. Sejenak aku baca SMS
tersebut ternyata dari seorang teman SD yang menanyaiku tentang rencana untuk
menjenguk salah seorang orang tua dari temanku yang sedang sakit. Sambil
menunggu di pendopo sekolah, aku membalas SMS dari temanku. Aku berkata, “Hmm
belum tau mau ikut apa gak. Kamu?” temanku langsung menjawab, “Aku ikut.” Dalam
hati aku berpikir kalau aku ingin menunjukkan rasa simpatiku terhadap teman
lamaku itu.
Bel
pulang sekolah pun berbunyi. Aku dan temanku berjalan keluar menuju gerbang
sekolah dan kemudian pulang. Dengan spontan aku menoleh ke sisi utara pendopo
sekolah, di sana tampak teman-temanku yang sedang mengerjakan remedial. Di
gerbang sekolah aku mengucapkan salam perpisahan dengan temanku dan berpamitan
pulang. Dalam perjalanan pulang, ada sebuah SMS masuk yang ternyata temanku lagi
dan akhirnya aku memutuskan untuk ikut menjenguk orang tua dari temanku itu.
Pukul
15.00 aku terbangun dari tidur siangku. Alarm yang sudah aku pasang
membangunkanku dari tidur siangku. Sesegera mungkin aku bergegas menuju kamar
mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi bersama dengan temanku. Tak berselang
lama temanku datang dan kami pun pergi menuju TK dan SD Karitas, tempat di mana
kami berjanjian untuk bertemu.
TK
dan SD Karitas mengingatkanku akan memori 13 dan 6 tahun yang lalu. Di sanalah
aku bertemu dengan teman-temanku. Di sanalah aku dan mereka mengukir prestasi
bersama melalui perlombaan yang pernah aku ikuti. Suasana hening dan aku pun
bertanya, “Gambar di tembok bangunan TK itu tidak berubah sendari kita lulus
dari SD ini.” Temanku hanya tertawa mendengar ucapanku itu. Semuanya masih
terlihat nyata dan utuh. Pohon beringin yang masih berdiri kokoh sebagai sarana
untuk berteduh di siang hari, ayunan dan permainan di TK itu, dan juga
kursi-kursi beton di bawah pohon beringin itu.
Obrolan
terus saja berlangsung, kemudian temanku berkata, “Eh, ternyata ayahnya sudah
pulang dari rumah sakit. Jadi kita harus menuju ke rumahya.” Kami pun sepakat
untuk bersama-sama menuju rumah itu. Kami mengumpulkan iuran sukarela untuk
membelikan buah dan brownies. Aku dan temanku ijin untuk membelinya sebelum
kami menuju ke rumahnya. Dalam perjalanan banyak SMS masuk dari teman-teman
yang lain untuk menanyakan di manakah mereka akan menjenguk ayah dari temanku
itu.
Satu
keranjang buah sudah ada di tangan. Kami kemudian melanjutkan perjalanan untuk
membeli sebuah brownies. Jalanan yang kami lalui bukanlah jalan biasa. Kami
melalui desa-desa sebenarnya bertujuan untuk sedikit mengulur waktu yang ada.
Perjalanan kami pun dinaungi rintik gerimis yang lumayan lebat. Dalam
perjalanan itu pula dalam hati aku berkata, “Tuhan jangan hujan. Perkenankanlah
kami untuk sampai di rumahnya terlebih dahulu.” Sejenak gerimis itu berhenti
dan dalam hati aku berterimakasih.
Mendung
yang kian gelap menghantarkan kami menuju ke sebuah desa di sekitar Medari.
Kami sampai terlebih dahulu di sana. Dengan penuh rasa heran kami menelpon
teman kami yang ternyata masih dalam perjalanan. Gerimis kembali turun dan kami
pun berteduh di bawah sebuah gapura di depan Gereja Medari. Tak berselang lama
teman-teman kami pun datang. Disadari di sana bertambah banyak teman kami yang
datang. Salah satunya teman kami yang sudah duduk di bangku kuliah padahal
tadinya dia satu angkatan dengan kami.
Tak
perlu menunggu lama kami bergegas untuk menuju ke rumah teman kami di desa
Medari itu. Perjalanan pun tidak terlalu jauh. Jalanan di tengah sawah itu kian
menampilkan suasana asri yang menjelaskan bahwa desa tersebut masih belum
tercemar polusi. Kampung-kampung itu kami lalui hingga akhirnya kami sampai di
sebuah rumah bercat kuning. Di sanalah temanku itu tinggal.
Saling
berjabat tangan tanda sebuah keakraban. Aku melihatnya seolah terpesona. Tak
jauh berbeda dengan temanku yang menjabat tanganku itu. Ia terlihat lebih akrab
di mataku. Kurang lebih 6 tahun kami tidak bertemu. Ia masih terlihat sama seperti
yang dulu. Hanya yang berbeda adalah rambutnya yang semakin panjang. Hahaha.
Satu
demi satu kami memasuki rumah itu. Perasaan tenang dan jauh dari keramaian
membuat kami bertahan lama untuk mengulas cerita di masa TK dan SD. Orang
tuanya pun tak lupa kepadaku dan teman-temanku. Cerita, tertawa, candaan dan
sindiran yang menggoda membuat kami betah untuk tetap menikmati suasana desa
tersebut. Terlihat banyak perbedaan dari kami ketika kami berkumpul di sana.
Kami yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMA dan sebentar lagi akan mengikuti
Ujian Nasional yang akan diaksanakan di bulan April nanti. Wajah-wajah yang
masih sama aku temui di sana. Suasana yang mungkin cenderung berbeda ketika
kami sedang bercanda.
Kurang
lebih 2 jam kami berada sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke
rumah kami masing-masing. Sebelum pulang kami memutuskan untuk berdoa bersama
yang dipimpin oleh salah seorang teman yang memiliki cita-cita sebagai seorang
Romo. Berdoa dimulai. Keheningan menyapa kami dalam kehangatan sebuah keluarga
kecil itu. Selesai berdoa ayah dari teman kami berkata, “Kekeluargaan yang
sangat bagus. Semoga akan selalu terjalin.” Dalam hati aku tersenyum mendengar
ucapannya.
Di
tengah dinginnya hawa malam itu tak menyurutkan niat kami untuk kembali ke
rumah. Teman kami mengantarkan kami menuju jalan raya yang tadi kami lalui. Desa
yang benar-benar mengagumkan. Sebuah desa yang masih sepi nan asri.
Mengingatkanku akan rumah nenekku yang juga seperti itu.
Di
sanalah kami berpisah di sanalah kami bertemu. Lambaian tangan dan senyuman
persahabatan memisahkan kami akan sebuah pertemuan yang sederhana. Pertemuan
sederhana yang membawa kami dalan kisah yang sederhana pula. Di sanalah aku
berjumpa dengan teman-teman lamaku yang tak banyak berubah. Dari pertemuan itu
aku merasa benar-benar berada dalam sebuah keluarga yang terdiri dari
teman-teman lamaku. Keluarga yang begitu sempurna akan kekerabatannya dan sebuah
keluarga yang sederhana sehingga sulit untuk dilupakan dalam benakku.
--------0o0--------