Lembar Monokrom
Lembaran foto hitam putih
Kembali teringat malam
Ku hitung-hitung bintang
Saat mataku sulit tidur
Suaramu buatku lelap
Di manapun kalian berada
Ku kirimkan terima kasih
Untuk warna dalam hidupku
Dan banyak kenangan indah
Kau melukis aku
Kita tak pernah tahu
Berapa lama kita diberi waktu
Jika aku pergi lebih dulu
Jangan lupakan aku
Ini lagu untukmu
Ungkapan terima kasihku
***
Tahun 2017 sudah memasuki hari ke-24 dan
sudah lama aku tidak menuliskan ide-ide yang ada di dalam kepalaku. Baru-baru
ini aku mendapatkan sebuah inspirasi dari sebuah lirik lagu di atas. Ya. Bagi kalian
yang begitu menikmati dan mengagumi lagu di atas, pasti langsung tahu siapa
penyanyinya dan apa judulnya—Tulus, Monokrom.
/mo.no.krom/
adalah lukisan atau
reproduksi berwarna tunggal, itulah istilah yang tertulis di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Pada bagian refrain
lagu tersebut yang membuatku terinspirasi untuk menuliskan tulisan ini. Tulisan
yang aku buat berdasarkan beberapa lembar monokrom yang mengesankan.
Lirik lagu ini begitu pas dengan
beberapa lembar monokrom yang ada di dalam memori laptopku. Warnanya yang sama,
hitam putih yang terkadang identik dengan kata “masa lalu” atau “lawas”, seolah menggambarkan cerita
terdahulu yang begitu familiar. Lembar-lembar
monokrom ini merupakan gambaran atau visualisasi nyata tentang sebuah pengalaman
dan kebersamaan di tempat yang berbeda, hari yang berbeda, dan peristiwa yang
berbeda. Sebagian besar memang aku temukan di kampus, tempatku biasa bertemu
dengan mereka. Memang bukanlah hal yang mudah ketika pertama kali mengenal
mereka, dengan latar belakang dan sifat yang beraneka ragam. Terkadang dan
mungkin juga hal negatif muncul ketika seseorang itu tidak meninggalkan kesan
pertama.
***
Monokrom. Melalui sebuah kata ini,
semuanya tergambar dengan jelas. Suka, duka, kebersamaan, persahabatan, dan
juga kasih yang begitu sederhana. Lembar-lembar monokrom ini sudah berhasil
memberikan kesan terbaik di dalam memori dan pengalaman sederhana itu pula dengan
mereka. Ada di antara mereka yang sudah aku kenal selama empat tahun dan baru
beberapa bulan yang lalu. Sekarang ini, mungkin aku begitu jarang menemukan
mereka ketika pergi ke kampus. Kampus terasa begitu asing. Hanya beberapa dosen
yang membuatku tidak asing ketika berkunjung ke kampus. Suasana pun ikut serta
berubah ketika di semester ini pun tidak satu kelas lagi dengan mereka. Beberapa
dari mereka sudah lulus, beberapa dari mereka sudah sibuk dengan urusan mereka
masing-masing.
Semester 8, membuat hari-hariku menjadi
hal yang belum dapat aku deskripsikan. Keramaian kelas yang dulu begitu terasa
dan pernah aku ciptakan bersama mereka, kian lama kian memudar. Lembar-lembar
monokrom itu menyisakan cerita yang dulu pernah ada dan dituliskan oleh angan.
Kampus, yang dulu menjadi base camp sebuah
perjumpaan sederhana, tempat di mana aku menghabiskan waktu di Student Hall yang kini sepi dan
digantikan oleh meja-kursi yang baru. Kantin kampus yang dulu ramai diserbu
olehku dan mereka, juga ikut menawarkan sajian menu baru yang belum pernah aku
cicipi. Suasana kampus, base camp
yang telah berubah. Ada hal yang asing di sini, aku jarang bertemu wajah-wajah
familiar itu lagi, wajah-wajah yang dulu sering aku sapa, sering aku tanya
apakah sudah mengerjakan tugas, wajah-wajah yang dulu sering aku ajak
bercengkerama bersama sambil menunggu hujan reda di bawah lampu-lampu Student Hall yang menyala.
Suasana sore itu juga telah berubah. Ketika
di kampus semakin banyak yang menatap heran kearahku, kepada kami yang sudah
jarang nampak di kampus. Mungkin saja mereka bertanya-tanya, siapakah mereka,
apa gerangan yang mereka lakukan sampai larut seperti ini. Kelas sore yang dulu
sering disambangi bersama menandakan bahwa belajar tidaklah mengenal waktu. Belajar
tidak melulu melalui duduk manis dan menatap lembar-lembar tulisan hitam putih.
Semester 8 menjadi gerbang utama di
tahun 2017 ini. Sebuah gerbang penentuan bagi mahasiswa semester akhir yang
berusaha untuk tetap hidup tanpa melewatkan satu hal apapun. Beberapa lembar
monokrom itu kembali mengingatkanku akan perjuanganku bersama mereka beberapa
waktu lalu. Mengingatkan kehangatan dan kebersamaan yang dulu pernah terjalin
antara aku dan mereka. Berjuang bersama untuk meraih goal yang sama.
Lembar-lembar monokrom ini sudah
membuatku bersyukur berada di tengah-tengah mereka. Merasakan gundah gulana
bersama menghadapi kelas pagi esok hari. Merasakan hari-hari yang tak ingin
disambangi esok hari. Terutama presentasi-presentasi di depan kelas yang
menumpuk untuk harus segera diselesaikan.
Lembar-lembar monokrom ini, sudah
memberikan nyawa terbaik untuk bisa mengucapkan terima kasih setiap hari dan
setiap saat ketika aku melihatnya. Menyisakan rasa enggan untuk ditinggalkan,
mengingatkan kapan lembar-lembar ini diambil oleh sang penangkap memori.
Lembar-lembar monokrom ini sudah menjadi
simbol yang pernah mereka lakukan bersamaku. Menikmati setiap semester
kebersamaan ketika zona nyaman masih melekat dan bersemanyam di hati. Lembar-lembar
monokrom ini juga menanyakan kabar mereka sekarang,
“Hai, apa kabar kalian?”
Maria Ardianti
Kurnia Sari
Yogyakarta, 24
Januari 2017
20:55 WIB