Penikmat Pagi dalam Secangkir Rindu
Udara pagi selalu segar menyapa penikmat pagi. Tetesan embun juga menyambut penikmat pagi untuk kembali beraktivitas. Pagi itu, penikmat pagi sedang menikmati liburannya. Satu semester yang dijalaninya sudah usai, kini saatnya penikmat pagi menikmati kehidupan normalnya. Pagi-pagi kemarin, ia tidak bisa menikmati paginya. Ia harus berkutat dengan masalah-masalahnya, ujian kahir yang menghabiskan rutinitas normalnya. Ia harus berkutat dengan tumpukan-tumpukan buku tebal yang begitu melelahkan untuk dibaca.
Hari ini penikmat pagi bangun pukul lima, lalu mencuci muka dan bersiap untuk menikmati udara segar di pagi hari. Penikmat pagi sudah lama meninggalkan hobinya, bersepeda. Pagi-pagi kemarin, penikmat pagi selalu lelah dan bangun kesiangan. Ia tak sempat untuk melakukan hobinya, namun kali ini ia sudah siap, begitu katanya. Langit masih terlihat gelap. Udara dingin menyapanya ketika ia mengayuh sepedanya. Sisa hujan semalam yang mungkin menciptakan udara dingin itu. Ia tidak ingin kalah dengan udara dingin itu. Jaket tebal yang dipakainya cukup membantu untuk menghangatkan badan dan ia terus mengayuh sepedanya, merasakan embun pagi yang membasahi dedaunan.
Penikmat pagi terus mengayuh sepedanya perlahan, merasakan terpaan udara pagi tanpa polusi yang begitu segar. Entah kemanakah penikmat pagi akan melaju bersama sepedanya. Ia bersyukur masih bisa merasakan nikmatnya berkat pagi. Penikmat pagi mulai merasa tenang. Inilah yang ingin ia nikmati selama ini, tanpa ada beban seperti pagi-pagi kemarin. Ia terus mengayuh sepedanya hingga menuju jalan raya. Begitu lengang, pikirnya. Tampak hanya beberapa mobil dan bebek besi yang melintas santai. Penikmat pagi begitu menikmati pagi itu. Saling menyapa dengan para pesepeda yang melintas, saling melemparkan senyum pada para pejalan kaki. Mereka juga tampak menikmati pagi yang lengang itu, pikirnya.
Jalanan di jalan raya begitu luas. Semakin siang deru kendaraan membuatnya tidak nyaman. Jalanan yang tadinya lengang itu malah dijadikan arena kebut-kebutan antara pengendara bebek besi. Penikmat pagi lantas membelokkan sepedanya menuju sebuah jalanan kecil. Ia kembali menghirup udara segar dengan nafas panjangnya. Ada beberapa hektar persawahan tampak di sana bak lapangan sepak bola yang amat luas, bak permadani yang membuat penikmat pagi ingin tidur di atasnya. Embun pagi masih bertahan di antara dedaunan hijau itu, seakan enggan untuk menetes turun ke tanah. Penikmat pagi tersenyum kala embun pagi menetes di atas dahinya, seolah mereka ingin menyapanya. Merasakan dinginnya embun dan sejuknya udara pagi membuat penikmat pagi ingin terus mengayuh sepedanya. Di sebelah utara tampak pemandangan yang begitu elok, karya Sang Pencipta. Tampak dua buah gunung di sana, Gunung Merapi dan Merbabu yang terlihat samar. Matahari dengan malu-malu bersinar dan ingin memperlihatkan puncak gunung-gunung itu. Ukiran-ukiran di puncak Gunung Merapi itu begitu apik. Langit pagi begitu cerah sehingga liuk-liuk ukiran itu terlihat jelas di puncaknya. Langit pagi itu berwarna biru dan sedikit semburat oranye oleh sinar matahari. Kini hamparan sawah telah berubah dan berganti menjadi hamparan perkebunan sengon. Sesekali angin menyapa penikmat pagi dan menggerakkan dedaunan pohon-pohon di sekitarnya. Beberapa daun kuning jatuh berguguran.
Satu jam sudah penikmat pagi menikmati pagi dengan sepedanya. Ia kembali ke rumah dan mencuci muka serta kakinya. Penikmat pagi menghirup aroma sedap dari dapur. Ia melihat penikmat pagi yang lainnya tengah menyiapkan sarapan pagi untuknya. Penikmat pagi mengambil sebuah cangkir kesayangannya, cangkir porselen berwarna putih polos. Penikmat pagi membuat secangkir rindu. Secangkir rindu yang mengingatkannya pada sahabatnya yang telah lama tak dijumpainya. Ia juga menyukai secangkir rindu yang sama. Seolah mereka ingin menyesap secangkir rindu dari cangkir yang sama.
Secangkir rindu berupa susu cokelat panas yang menjadi minuman favoritnya di pagi hari. Secangkir rindu yang memberikan kehangatan di pagi hari. Sesekali, penikmat pagi menyesap secangkir rindu dan ia kembali menikmati udara segar yang masih tersisa dari jendela ruang tamu. Secangkir rindu sudah memulihkan kembali semangat penikmat pagi. Menikmati sinar matahari yang sudah mulai meninggi. Sinarnya menembus kearah jendela tempat penikmat pagi menikmati secangkir rindu. Penikmat pagi lantas beranjak dari tempatnya dan kembali menghabiskan sisa pagi bersama penikmat pagi lainnya.
***
Esok paginya, penikmat pagi kembali bangun pukul lima pagi. Mencuci muka dan bersiap untuk memakai jaket tebalnya. Kali ini penikmat pagi akan mencoba rute jalan yang berbeda. Keluar dari pekarangan rumahnya, ia kembali mengayuh pedal sepedanya. Jalanan menurun cukup membantunya untuk menghemat tenaga. Ia mengambil nafas panjang dan menghirup udara pagi yang segar yang begitu nikmat. Sisa genangan air hujan semalam masih tampak di jalanan. Hujan deras semalam lagi-lagi membawa kesejukan pagi itu. Sungguh aneh, pikirnya. Ketika pagi tampak cerah, siang hari begitu terik, dan malam hujan deras, begitu katanya. Embun pagi kembali menyambutnya, meneteskan airnya di atas dahinya, ia tersenyum, seolah embun itu ingin mengajaknya bermain dan menikmati udara pagi.
Penikmat pagi terus mengayuh sepedanya tanpa lelah. Kali ini jalanan tampak menanjak. Sisi kanan dan kiri terlihat rumah-rumah penduduk dengan gaya yang unik. Sepi. Jalanan itu tampak sepi. Tidak tampak pengendara bebek besi yang melintas di sana. Hanya ada beberapa orang yang tak kalah dengan penikmat pagi untuk ikut serta di pagi itu. Mereka saling berbincang, tertawa, bahkan ada yang berlarian. Penikmat pagi merasa terhibur dengan tingkah penikmat-penikmat pagi itu. Ada raut wajah bahagia di wajah mereka.
Langit masih terlihat gelap, tertutup mendung yang enggan pergi dari langit pagi. Persawahan di sisi kanan dan kiri kembali menyambut penikmat pagi. Burung-burung kecil beterbangan dan hendak hinggap pada tanaman padi itu. Tampak pula beberapa petani yang menengok sawah mereka. Memainkan seutas tali untuk menggerakkan badan orang-orangan sawah. Beberapa burung kecil itu terbang dan hinggap pada tanaman padi yang lainnya. Area persawahan kini kembali berganti dengan perkebunan sengon. Tinggi menjulang dengan batangnya yang ramping. Penikmat pagi mempercepat sepedanya. Hari sudah semakin siang dan ia lupa kalau harus menikmati secangkir rindu favoritnya.
Aroma secangkir rindu sudah menyapa penikmat pagi ketika sampai di depan rumah. Kali ini penikmat pagi menikmati secangkir rindu di teras rumah. Ingin menikmati udara segar, katanya. Suara gemerisik dedaunan yang terkena angin ikut menikmati aroma secangkir rindu. Penikmat pagi menarik nafas panjang untuk menghirup uap dari secangkir rindu. Aroma cokelat panas yang menentramkan, pikirnya. Sesekali penikmat pagi tampak menyesap perlahan untuk menikmati rasa secangkir rindu. Ia memejamkan mata. Membayangkan bahwa esok pagi akan lebih indah dan cerah karena ia akan bertemu dengan sahabatnya dan menikmati secangkir rindu bersama. Ia tampak sekali lagi menyesap secangkir rindu itu. Kedua tangannya menggenggam erat cangkir porselen itu.
Penikmat pagi menghangatkan kedua tanganya yang sedari tadi mati rasa karena udara dingin. Di setiap teguknya, penikmat pagi merasakan secangkir rindu susu cokelat mengalir menuju kerongkongannya dan masuk ke lambungnya. Hangat, begitu pikirnya. Setelah menghabiskan secangkir rindu itu, penikmat pagi berjalan ke halaman. Menggerak-gerakkan badan di tengah halaman rumahnya dan melihat secercah matahari dari celah-celah dedaunan. Ia masih malu menyapa penikmat pagi. Penikmat pagi tersenyum, seolah ia bisa berinteraksi dengan cahaya itu.
***
Siang itu penikmat pagi akan membayar rindu itu. Sebuah rindu yang telah lama terpendam. Ia akan datang, katanya. Penikmat pagi tidak menyukai suasana siang karena siang itu begitu terik. Ia tidak menyukai matahari di siang hari karena suhunya akan membuatnya dehidrasi. Penikmat pagi akan bertemu dengan penikmat senja di sebuah tempat favorit mereka. Biasanya mereka akan bercerita tentang hujan. Suasana hujan menjadi suasana favorit mereka. Mereka bisa saling berbagi kasih sayang dan menikmati secangkir rindu bersama. Duduk di dekat jendela seperti biasa dan beberapa pelayan yang sudah hafal dengan pesanan mereka. Dua cangkir susu cokelat panas, begitu kata pelayan itu. Biasanya mereka akan mendapatkan free macaron kesukaan mereka. Penikmat pagi menikmati macaron berwarna biru, dan penikmat senja menikmati macaron berwarna oranye.
Penikmat pagi dan senja sudah lama tak berjumpa. Kini mereka saling berhadapan di meja yang sama, menikmati siang yang yang sama. Mereka mulai jatuh pada pikiran masing-masing. Hening. Kala langit mulai meredup, ada respon di antara mereka. Mereka mulai membicarakan hujan. Hujan di siang hari. Tak lama kemudian rintik hujan mulai turun. Penikmat pagi dan senja mulai tersenyum. Bertukar kisah mereka masing-masing. Tampak syahdu ketika cahaya lampu mulai dinyalakan.
Hujan masih enggan untuk berhenti. Semakin deras di senja hari. Penikmat pagi dan senja masih bertahan di sana. Masing-masing sudah menghabiskan dua cangkir rindu dan dua macaron, warna dan rasa favorit masing-masing. Mereka tenggelam dalam cerita yang mengingatkan mereka pada masa kanak-kanak. Cerita penikmat pagi dan senja adalah cerita persahabatan selama tujuh belas tahun. Hujan masih tak kunjung berhenti. Dengan terpaksa mereka berhujan-hujan ria. Saling tertawa di tengah hujan. Pertemuan antara penikmat pagi dan senja sudah mengobati kerinduan masing-masing. Kerinduan dalam secangkir rindu yang telah mereka nikmati dalam rupa susu cokelat panas. Susu cokelat panas di tengah hujan deras yang selalu membawa suasana syahdu di antara pertemuan mereka. Secangkir rindu memang menghangatkan pertemuan mereka. Memberikan pesan rindu bagi para penikmatnya.
**Photo: Maria Ardianti Kurnia Sari,
nominator lomba cerpen Sayembara Pena Kita: Sebuah Cerita Tentang Menangkap 2016
Buku diterbitkan pada 14 Februari 2017.
Maria Ardianti Kurnia Sari
Bantul, Juni 2016