FROM FKIP TO FIB #2: “Love can bring you everywhere.”

 
Gedung Soegondo (pict by: Mbak Isna)

“Sesekali kamu perlu untuk menikmati senja sejenak sembari menikmati secangkir kopi. Meskipun kamu sedang mencoba keluar dari zona nyaman, jangan pernah lupa bersyukur dengan nikmat yang telah kamu peroleh hingga hari ini,” - @riws11.

P.S.: Read the previous story: From FKIP to FIB #1: Cerita Penghujung Tahun 2018.

The story below is not an endorsement or a promotion, but these all are based on my personal experiences. Enjoy! :) 

****

Love can bring you everywhere, kalimat ini adalah kalimat pembuka sewaktu pertama kali aku masuk kuliah S2 Pengkajian Amerika di UGM. Dosenku menjadi pencetus terciptanya kalimat tersebut (cielah!). Beliau adalah Pak Munjid, dosen ter-rajin yang setiap minggu pasti ada aja tugasnya, nulis 500 kata untuk materi yang akan dipresentasikan di pertemuan selanjutnya. Lantas apa hubungannya dengan kalimat itu? Waktu itu Pak Munjid pernah tanya ke salah satu temanku, “Kamu S1nya dulu di mana?” “Sastra Perancis UGM.” “Kok bisa masuk Pengkajian Amerika?” “Karena pacar saya orang Amerika, Pak. Selain itu saya juga translator bahasa Inggris.” Dari jawaban itulah, dosenku paham kalau “cinta” memang bisa membawa seseorang untuk menjelajah kemana saja dan menghilangkan rasa takut mereka untuk berjuang.

 With Dr. Martin Arndt dari Jerman

Kenapa aku pilih Pengkajian Amerika sebagai konsentrasiku di S2?

Love can bring you everywhere, lagi-lagi kalimat ini jadi landasan utama untuk menjawab pertanyaan di atas. Ada tiga alasan (mungkin lebih) yang bisa mewakili jawaban dari pertanyaan di atas, yakni:
Pertama, aku menyukai hal-hal berbau budaya karena budaya itu unik. Budaya itu suatu hal yang menjadikan ciri khas suatu daerah atau negara yang bisa dengan mudah dijadikan alat pengenal untuk daerah tersebut. Karena kita udah kenal budaya dari Indonesia, enggak ada salahnya kan belajar budaya dari negara lain khususnya budaya Amerika? 

Kedua, aku suka belajar. Belajar hal-hal baru yang belum pernah aku ketahui sebelumnya. Sebelum masuk di Pengkajian Amerika, aku sering banget nonton vlog dari dua Tante cantik nan baik hati yang menikah dengan orang Amerika dan mereka menetap di sana. Mereka adalah Tante Sas dan Tante Christina. Oiya, mereka juga punya channel di YouTube, yakni Bersama L. Sas dan Nongkrong Bareng Christina. Menarik banget bisa tahu kehidupan di Amerika seperti apa dan mempelajari suatu hal baru secara enggak langsung. 

Ketiga, rasa penasaranku membawaku ke sini. Rasa penasaran gimana sih rasanya kuliah di UGM. Unik aja ketika aku dari TK sampai S1 sekolah di luar negeri alias sekolah swasta, ketika S2 memilih untuk kuliah di UGM. Dan penasaran itu terjawab di program studi Pengkajian Amerika ini. Ada banyak kejutan tak terduga yang aku temukan di sini bahwa Amerika itu…. KEREN! Kita pasti banyak tahu kalau ada beberapa restoran fast food berbasis di Amerika, tapi dibalik itu semua ada misi tersendiri yang ingin orang lain ketahui dari Amerika.

Kansas alias Kantin Sastra

Pengkajian Amerika. Apa yang dipelajari di sini?

Memang di Indonesia sendiri hanya ada dua program studi Pengkajian Amerika, yakni di UI dan UGM. Namun, di UI sendiri katanya lebih mengarah ke masyarakatnya sedangkan di UGM, semua yang berbau Amerika akan di bahas di sini. Apa aja sih mata kuliahnya? Di sini aku banyak banget belajar tentang Amerika meskipun tahun 2018 kemarin aku masih termasuk mahasiswa baru di sini tetapi udah banyak banget jurnal, buku, dan materi yang bisa membawa pikiran ini ke arah Amerika. 

Di Pengkajian Amerika, aku juga enggak hanya belajar budaya ataupun kehidupan sosial orang-orang Amerika, tetapi di sini juga diajarkan “sedikit” untuk menjadi orang Amerika dari cara pandang dan pola pikirnya (keren ndak tuh!), belajar ekonomi di Amerika, politik di Amerika, agama-agama di Amerika, ras-ras di Amerika (kita juga akan tahu bagaimana tingkat rasisme di Amerika apalagi terhadap Black People seperti contohnya Martin Luther King Jr. dan Malcolm X), peradaban di Amerika sejak masa migrasi orang-orang Eropa ke Amerika, hukum di Amerika, poskolonial, imperialisme, dan hegemoni di Amerika, dan studi transnasional Amerika. Semua hal itu aku pelajari di semester kemarin alias semester satu. Seru-seru pusing hahaha…. tapi keren! Ketika secara umum aku hanya tahu Amerika itu hanya melalui film Hollywood, Patung Liberty, dan benderanya, ternyata ada banyak banget yang tersimpan di dalamnya, salah satunya ketika orang-orang di luar Amerika beranggapan kalau Amerika adalah Utopia atau negeri impian/imajinasi yang bisa mewujudkan apa saja yang orang lain mau.

Pengaruh-pengaruh dari Amerika sendiri sudah mendunia, misalnya saja di bidang kuliner seperti McD, KFC, Dunkin’s Donuts, Burger King, Starbucks (kalau kurang, maafkan yaa hehe…). Kurang gila apa lah Amerika ini? Wajar saja kalau Amerika dijuluki sebagai negara super power karena berhasil menyusup dan mengambil hati orang-orang di seluruh seluruh dunia. Oiya! Selain itu, di Pengkajian Amerika juga ada tradisi Thanksgiving, biasanya di bulan Oktober atau November, tapi sayangnya kemarin enggak ada acara ini karena ada seminar internasional “ASIC” alias American Studies International Conference.

Sebenarnya masih banyak lagi apa yang dipelajari di Pengkajian Amerika. Karena aku masih di semester pertama, jadinya hanya bisa menceritakan apa yang sudah aku pelajari di semester tersebut. Mungkin untuk apa-apa saja yang dipelajari, bisa aku ceritakan di cerita selanjutnya yaa…

From FKIP to FIB

 Sekolah S1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan lalu sekolah S2 di Fakultas Ilmu Budaya. Kenapa enggak lanjut di fakultas yang sama? Passion setiap orang memang berbeda. Kadang kita juga perlu belajar hal baru yang bahkan tidak sesuai dengan bidang yang pernah kita pelajari sebelumnya. Menemukan hal baru, pengalaman baru dan memiliki mimpi yang baru udah jadi impian di dalam kamusku. Omku pernah berkata, “Kalau dulu S1nya pendidikan, ya S2nya yang lain dong biar keren.” Mungkin hal itu menjadi salah satu alasan kenapa aku lanjutkan kuliah di fakultas yang berbeda dengan fakultas sebelumnya.

Di FIB ini memang banyak belajar tentang budaya. Udah berbeda dengan zaman ketika aku kuliah di FKIP. DI FIB, enggak ada lagi mata kuliah yang mengharuskan bikin RPP atau Silabus untuk SD sampai SMA, enggak ada lagi belajar bagaimana Kurikulum 2006 dan 2013, enggak ada lagi praktek Micro Teaching di kelas yang isinya 20 orang, dan enggak ada lagi peraturan harus pakai pakaian keguruan. Semuanya serba 360o berbeda dengan fakultas sebelumnya. Nekat? Ya memang. Hidup itu untuk menjalani sebuah kenekatan. Keluar dari zona nyaman lebih tepatnya. Bisa dibilang dari TK sampai S1 kemarin aku tengah berada di zona nyamanku. Mungkin tentu kalian paham maksudku. Sekolah di sekolah swasta dengan segala isinya dan ketika melanjutkan sekolah, aku mencoba untuk keluar dari zona nyaman itu, karena tentu aja enggak baik berada terus-terusan di zona nyaman, benar begitu?

Dari FKIP ke FIB jelas semuanya berbeda. Mata kuliah berbeda, teori berbeda, teman-teman juga berbeda, lingkungan yang berbeda, cara berpikir harus semakin berbeda, cara berpakaian yang lebih bebas karena tadinya harus ala keguruan dan sekarang bisa hanya pakai T-shirt plus celana jeans. Menjelang akhir tahun 2018, aku membuktikan hal itu. Mengenal dunia baru yang berbeda, menemukan teman-teman baru yang berasal dari berbagai kalangan, perbedaan usia, dan pengalaman. Menyenangkan. Bahkan rata-rata dari mereka adalah lulusan FBS (Fakultas Bahasa dan Sastra) yang enggak jauh berbeda dengan FIB. Sedangkan aku yang berasal dari FKIP, tahu apa coba?

Memasuki pertengahan semester, semakin ke sini aku semakin berpikir, apakah benar ini yang aku inginkan selama ini? Beda! Apakah aku berada di jurusan yang tepat? Apakah sebaiknya aku resign dan kerja aja? Pikiran-pikiran macam itu selalu muncul dipikiranku. Karena memang seperti yang aku sebutkan di atas, semua berbeda. Kaget? Mungkin. Dari FKIP yang dulunya belajar ataupun baca teori Psikologi karya Sigmund Freud, sekarang harus tahu teori Homi Bhabha, Spivak, Edward Said, Margaret Mead, Franz Boas (apalah itu semua?! Huhuhu….). Bener-bener belajar dari nol sewaktu masuk di Pengkajian Amerika FIB ini. Lagi-lagi ada aja pikiran resign gak ya? Kok gini sih mata kuliahnya? Tapi kenyataannya satu semester udah aku jalani, kalau mau resign juga enggak etis karena sekolah S2 itu cuma dua tahun, dan dua tahun itu cepet banget; tahu-tahu aja tahun depan udah tahun 2020.

Kalau diulas, apasih yang bikin aku betah? Apa sih yang bikin aku mau berkorban sedemikian rupa, berjuang sebegininya? Ada. Ada yang mendukung di balik ini semua selain keluarga dan teman-teman yang lainnya. Ada yang dulu pernah beri wanti-wanti sebelum aku masuk ke UGM, dia bilang, “Nanti kalau di UGM kamu harus siap. Minoritas harus berkualitas,” begitu katanya. Dan yaa… hingga saat ini sampai nanti saat terakhir aku akan coba buktikan kata-kata itu. Sebenarnya aku juga terinspirasi dan termotivasi dari seorang sahabat yang dulu pernah kuliah S1 di UGM, makanya pingin aja ngerasain gimana sih kuliah di sini apalagi di FIBnya, dia aja bisa kenapa aku enggak?

Jadi, untuk kalian yang saat ini sedang mencoba untuk keluar dari zona nyaman sepertiku, ayo kita berjuang bersama, saling mendoakan dan memotivasi. Aku yakin kita pasti bisa. Karena hidup itu bukan sekadar untuk mencapai garis finish secara instan, melainkan karena kita mencintai liku dan terjalnya sebuah perjalanan. Ingat pula apa yang membawamu sampai sejauh ini. Bersyukur dengan apa yang udah kalian peroleh hingga hari ini. 

Jangan lupa main yaa!

 American Studies Charity Act


Nonton film boleh laa yaa
 

With Larisa Mikaylova 
(Dosen Lomonosov Moscow University Russia)


“Be generous to see things!” - Prof. Ida, 2018.



Yogyakarta, 13 Januari 2019
Maria Ardianti Kurnia Sari
19:38 WIB

Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

If We Hold On Together