Berkat Pandemi

Isolasi mandiri atau sering disingkat isoman, udah enggak asing terdengar di tengah masyarakat kita. Kata-kata itu muncul sejak pandemi COVID-19 awal tahun 2020 lalu. Banyak yang mungkin berulang kali ikut isoman karena mereka kontak erat ataupun tertular. Hal ini juga aku alami bulan Juni 2021 yang lalu. Singkat cerita waktu itu Bapak melakukan tes PCR di Rumah Sakit Siloam Yogyakarta. Dari hasil tersebut, diketahui kalau Bapak positif COVID-19, namun tanpa gejala atau OTG. Sejak tahu hal itu, keesokan harinya aku tes swab antigen dan hasilnya negatif, Ibuk juga negatif. Akhirnya kami memutuskan untuk melalukan isoman selama 10 hari, setelah itu akan dievaluasi. Setelah isoman selama 10 hari, Ibuk, yang bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta, melakukan evaluasi, yakni dengan tes PCR ulang. Namun, ternyata Ibuk juga positif COVID-19 dan tanpa gejala juga. Dicurigai sih itu sisa-sisa virus yang masih berada di dalam tubuh. Isoman yang seharusnya sudah berakhir, malah bertambah jadi 10 hari. Jadi, totalnya kami isoman 20 hari. Bosan, shock, dan merasa kecewa udah pasti.

Isolasi mandiri di rumah dengan gerak terbatas, sepintas mengingatkanku pada sebuah film berjudul The Terminal (2004) yang dibintangi oleh Tom Hanks. Di film ini juga menceritakan kondisi Viktor Navorski (Tom Hanks) yang memiliki gerak terbatas. Ia terjebak selama sembilan bulan di sebuah terminal Bandara Internasional John F. Kennedy New York karena paspor miliknya ditolak, ia dilarang kembali ke negaranya di Krakozhia, dan juga dilarang untuk memasuki Amerika Serikat. Selama Viktor Navorski berada di terminal bandara tersebut, ia mencoba mencari tahu apa saja yang ada di bandara tersebut, berkomunikasi dengan orang-orang yang bekerja di sana meskipun memiliki kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, serta mencari cara untuk bertahan hidup selama ia berada di sana. Ada banyak cara yang Viktor Navorski lakukan untuk bisa mendapatkan uang atau koin agar bisa ia belikan makanan yang dijual di dalam bandara. Dan dari bantuan beberapa teman yang baru dikenalnya di sana, ia berhasil mendapatkan pekerjaan dan sejumlah uang.

Kejadian yang dialami Viktor Navorski juga identik dengan situasi dan kondisi ketika aku menjalani isoman. 20 hari tentu berbeda dengan sembilan bulan yang dialami oleh Viktor Navorski. Isoman selama 20 hari aja rasanya seperti diasingkan. Banyak dari tetangga yang mungkin enggan berinteraksi dengan kami walaupun jaraknya sudah melebihi batas jaga jarak yakni dua meter. Tapi, justru dari sinilah, kita sama-sama diuji, entah itu dari perbuatan baik kita ke orang lain di masa lalu, sikap sosial kita dalam bermasyarakat, dan lingkaran pertemanan yang peduli dan perhatian pada kita meskipun kita berada di titik terendah. Terkadang, seseorang yang berteman lama dengan kita, belum tentu peka dengan kesulitan yang kita alami dan memluangkan waktunya untuk kita.

Selama isoman, ada aja bantuan yang dikirimkan ke rumah. Beberapa teman Ibuk di tempat kerja ada yang mengirimkan sembako, walaupun beliau juga sedang isoman dan karena mendapatkan banyak makanan, maka sebagian dibagikan ke orang lain. Dalam situasi sedang isoman pun, aku membagikan beberapa buah untuk temanku meskipun ia sedang tidak isoman karena kami sadar kalau kami tidak sanggup menghabiskannya… hahaha…

Selain itu, aku juga dikirimi puding oleh adik kelasku, walaupun sebenarnya kami belum lama kenal. Hal ini memang enggak terduga sih karena enggak pernah menyangka kalau adik kelas yang baru aku kenal ternyata perhatian dengan kondisiku saat itu, “Kan kasihan lagi isoman enggak bisa kemana-mana ya kan, Mbak. Jadi aku kirimi puding. Selamat menikmati ya. Semoga segera pulih,” ujarnya. Ada lagi hal yang menarik, saat itu hujan deras malam-malam. Om dan Bulikku mengantarkan satu plastik besar sayuran pok choi. Isoman selama 20 hari merupakan hal yang berkesan menurutku karena selama isoman itu memang dipaksa untuk makan makanan serba sehat seperti sayur dan buah-buahan. Para tetanggapun juga ikut serta memberikan aksi solidaritas untuk kami. Mereka mengirimkan buah-buahan. Dari gereja juga memberikan beberapa macam vitamin yang bisa untuk meningkatkan daya tahan tubuh.







Berkat pandemi selama 20 hari membuatku banyak belajar. Terutama belajar untuk mengkonsumsi makanan sehat, sayur dan buah-buahan, dan juga memasak sendiri. Sejak isoman juga, aku jadi hobi memasak. Terutama mengolah sayuran. Sebenarnya juga belum lama aku menyukai sayuran, terutama sayuran hijau. Tapi, setelah mengamati dan merasakan efeknya, rasanya sangat disayangkan kalau sehari enggak makan sayuran.

Terima kasih ya untuk kalian yang sudah memberikan perhatian selama kami isolasi mandiri. Apakah nanti jika pandemi COVID-19 sudah pergi, masyarakat Indonesia masih menjaga solidaritas seperti ini juga? Atau malah justru menjadi individualis?

 

Maria Ardianti Kurnia Sari

Yogyakarta, 3 September 2021

Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

Doa Harian Ibu Teresa