Bethlehem van Java

Ini bukan kali pertama aku mengunjungi Bethlehem van Java. Bethlehem van Java letaknya di Muntilan, Jawa Tengah. Saat itu aku masih kuliah strata satu ketika pertama kali mengunjungi Bethlehem van Java dan berziarah ke Kerkhof Muntilan atau yang lebih dikenal dengan Makam Romo Sanjaya, sang Martir pertama Indonesia. Aku ingat satu hal waktu itu ketika mengunjungi Makam Romo Sanjaya, rumah temanku tak jauh dari sana. Ingin sekali mengunjungi rumahnya suatu hari nanti. Tetapi, hingga kami lulus strata satu, belum pernah sempat untuk mengunjungi rumah Tiwi, temanku, di Muntilan.

Cerita ini sebenarnya diawali dengan tidak sengaja. Saat itu Caca mengajakku untuk mengunjungi Car Free Day Malioboro yang dijadwalkan dimulai pukul 18.00-21.00 WIB. Saat di dalam mobil, dia tiba-tiba mengatakan, “Kapan ya bisa main ke rumah Tiwi di Muntilan?” “Wah ayo, Cak,” kataku saat itu, “Udah impian dari lama pengen bisa main ke rumah Tiwi. Deket banget sama SMA Van Lith.” Tapi pemberitaan tentang status PPKM yang belum dihilangkan, aku mencoba mencari beberapa informasi apakah ada penyekatan dan pemeriksaan di perbatasan DIY dan Jawa Tengah. Teman-temanku bercerita aman-aman saja kalau mau ke Jawa Tengah. Dan akhirnya pun aku dan Caca menjadwalkan kunjungan ke rumah Tiwi di Muntilan.

Siapa yang tidak ingin punya mimpi untuk mengunjungi Bethlehem yang sesungguhnya suatu hari nanti? Kali ini aku punya kesempatan itu lagi, mengunjungi Bethlehem van Java di Muntilan untuk kedua kalinya. Sempat tersesat karena sudah lama sekali tidak ke sana, beberapa jalan memiliki jalur searah sehingga kami hanya mengandalkan Google Maps.


 

Tidak banyak berubah ketika sampai di Kerkhof Muntilan atau Makam Romo Sanjaya. Beruntung lebih tepatnya karena memang di saat pandemi COVID-19, Makam Romo Sanjaya sepi pengunjung. Ada dua lilin menyala di sana, berarti beberapa saat lalu ada yang datang berziarah. Aku membawa surat doa untuk Romo Sanjaya yang ingin aku bakar di sana. Syukurlah ada tempat untuk membakar surat doa itu. Surat doa, lilin, dan korek adalah amunisiku ketika berziarah ke suatu tempat. Entah kepercayaan dari dulu ketika berziarah dan membakar surat doa tersebut lalu didoakan, maka doa itu akan disampaikan. Tepat pukul 12.00 WIB sampai di Makam Romo Sanjaya. Doa Angelus atau doa Malaikat Tuhan aku daraskan di sana sembari mencium aroma kertas terbakar dari surat doa yang aku bakar tadi. Aku pun tak lupa menyalakan lilin tepat di depan makam Romo Sanjaya. Sangat miris dan sedih ketika kembali ingat bagaimana Romo Sanjaya dan teman-temannya dibunuh waktu itu oleh orang-orang Belanda, dan jenazahnya dibuang begitu saja di area persawahan. Memang perlu diakui, ketika seseorang sudah mencintai imannya dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa raganya, ia bahkan rela mati untuk iman yang dipeluknya.

Ada beberapa pesan yang aku bawa dari Jogja ketika hendak bertolak ke Makam Romo Sanjaya. Ibuk berpesan, “Jangan lupa ya berdoa di depan makamnya Romo Sanjaya. Nanti habis itu cari makamnya Pater Matthias Jonckbloedt, SJ. Dulu almarhum Pater Jonckbloedt yang baptis Ibuk di Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, beliau juga yang menikahkan Mbah Yati di gereja yang sama. Ketika pindah paroki ke Paroki Pakem, beliau yang membaptis Om Kunto dan Bulik Santi.” Ternyata almarhum Pater Matthias Jonckbloedt, SJ memiliki sejarah mengesankan di keluargaku. Setelah berdoa sebentar dan merefleksikan semuanya, akhirnya temanku Tiwi datang menyusul. Lalu kami bertolak ke rumahnya.

Di rumah Tiwi; aku dan Caca disambut hangat oleh Ibu dan Ayahnya. Sudah seperti keluarga sendiri. Bercerita macam-macam, sampai malah sudah disiapkan suguhan beberapa snack seperti salah satunya adalah pisang kepok rebus yang dipanen sendiri. Aku sejenak teringat kebun simbah di Bantul yang sering sekali panen pisang kepok kuning. 

Dua tahun kami tidak berjumpa. Ada banyak cerita yang kami ceritakan. Sampai aku melihat kalau di kebun Tiwi ada pohon camcau, lalu aku bilang ke Tiwi apakah boleh minta. Dengan sigap, Ibu Tiwi mengambilkan wadah untukku supaya bisa memanen daun camcau itu. “Ambil aja, Mbak. Yang banyak ya boleh. Soalnya juga enggak pernah dipanen.” Ya ampun… terima kasih banyak. Dan tidak sampai di situ, beliau juga mengambilkan kami dua plastik hitam yang isinya pisang kepok mentah yang baru saja dipanen. “Ini ya Mbak nanti dibawa kalau pulang. Pisang kepok hasil panen sendiri,” tambah Ibu Tiwi. “Walah Bu kok repot-repot. Kami hanya main, malah saya merepotkan ini minta daun camcau, malah dikasih pisang kepok juga. Matur nuwun,” kataku. “Enggak repot Mbak. Itu pohonnya masih banyak di kebun. Besok bisa panen lagi.”



Akhirnya, menutup hari ini, setelah berpamitan dengan Ibu Tiwi. Lalu kami bertiga memutuskan untuk makan bersama di sebuah rumah makan Joglo Ndeso. Tempatnya unik karena mereka menanam sendiri sayuran yang diolah dengan menggunakan metode hidroponik. Cerita kami lanjutkan hingga puluk 16.30 WIB. Empat setengah jam berjumpa dan bercerita tentang pengalaman masing-masing, perjuangan kami kemarin yang melanjutkan studi lanjut, bagaimana mata kuliah yang diajarkan, mengulang sedikit cerita ketika masih kuliah di strata satu dan akhirnya memutuskan untuk berpamitan untuk kembali ke Jogja.

 

Untuk Tiwi:

Terima kasih Tiwi dan keluarga sudah menyambut kami dengan hangat, menerima kedatangan kami dengan tangan terbuka, menyuguhkan beraneka macam makanan dan bercerita banyak hal. Seperti Dia yang dilahirkan di kandang Bethlehem, sederhana namun begitu hangat. Sehat selalu ya buatmu, buat Bapak dan Ibu. Semoga pandemi ini segera berakhir dan semoga kita nanti bisa bertemu lagi.

 

Terima kasih untuk hari ini, Bethlehem van Java 💖

 

Bethlehem van Java, Muntilan, 23 September 2021

Maria Ardianti Kurnia Sari

Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

Doa Harian Ibu Teresa