Sebuah Cerpen: Selembar Surat Bertinta Hitam



Namaku Felisia Citra. Aku biasa dipanggil Citra. Sekarang aku bersekolah di bangku kelas XI SMA swasta di Jogja, di kelas itu aku menjabat sebagai ketua kelas. Aku memiliki dua sahabat baik Yuna dan Nia. Dari SD-SMA kami selalu satu sekolah bahkan rumah kamipun berdekatan. Aku kadang juga sampai bosan ketemu dan melihat muka mereka yang innocent. Sejak SMP aku suka dengan dunia fotografi namun orang tuaku tidak mengijinkan aku untuk menjadi fotografer. Jadinya aku kepingin menjadi seorang penulis, tetapi impianku ini tidak diketahui orang tuaku.

Aku tinggal bersama Ibuku dan adikku karena ayahku sedang bekerja di Australia. Saat di sekolah aku sama sekali tidak melihat Nia. Aku dan Yuna memutuskan untuk ke rumah Nia sepulang sekolah. Ketika di rumah Nia,

“Kamu kenapa gak masuk?? Sakit??”tanya Yuna.

“(Menangis)... Enggak..”

“Terus kenapa??” tanyaku.

“Teman-teman, aku mau pindah ke Belanda. Itu karena ayahku dipindahtugaskan ke Belanda.”

“Apa?? Belanda?? Jauh banget.”kataku karena shock.

“Iya. Jadi tadi aku tidak berangkat sekolah karena aku harus mengurus segala keperluanku untuk pindah ke sana.”

“Ya sudahlah. Kamu jangan sedih, kita kan masih bisa ngobrol lewat Facebook atau Twitter.” kata Yuna.

“Kalian masih mau jadi sahabat baikku kan??”

“Tentu.”jawab Yuna dan Citra bersamaan.

Keesokan harinya Nia berangkat ke bandara, sebelum berangkat sekolah Yuna dan Citra menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Nia.

“Eh kalian, gak telat masuk sekolah??”tanya Nia.

“Tenang. Kami pasti akan tepat waktu sampai di sekolah.”jawab Citra.

“Ya udah terserah deh kalo gitu.”

Keluarga Nia berangkat ke bandara pukul 6.15 pagi. Seketika itu juga Mereka saling berpelukan dan akhirnya Nia dan kedua orang tuanya berangkat ke bandara.

“Nah, Nia kan udah berangkat. Sekarang giliran kita yang berangkat sekolah. Gak usah sedih lah Cit, kata Nia kan dia juga akan pulang ke Indonesia.”

“Iya sih. Tapi kan masih lama. Udahlah berangkat aja yuk.”

Mulai pagi itu, hari-harinya  di sekolah dijalani hanya bersama Yuna dan tanpa Nia. Dua tahun kemudian Citra berhasil lulus SMA dengan nilai yang memuaskan dan ayah Citra sengaja datang dari Australia untuk mengajak Citra, adiknya dan ibunya berlibur ke Australia. Citra tinggal di sana kurang lebih 2 bulan sembari menghabiskan liburan panjang. Pagi hari ketika sedang minum teh ayah Citra tiba-tiba bertanya,

“Citra, kamu besok mau kuliah di mana??”

“Pengennya di Indonesia aja yah.”

“Kamu gak mau kuliah di Australia aja??”

“Gak usah yah, lagian teman-teman akrabku banyak di Indonesia.”

“Itu terserah kamu saja, kalau kamu nyaman tinggal di sana ayah tidak melarang.”

“Makasih  ayah...”

Bulan Agustus Citra kembali ke Indonesia untuk mempersiapkan segala sesuatu tentang kuliahnya sedangkan ibu dan adiknya ingin tetap tinggal di Australia bersama ayahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara Yuna di bandara,

“Citra.....”

“Hey Yuna... apa kabar?? Ngapain kamu di bandara?? Maaf ya aku 2 bulan kemarin di Australia. Kamu liburan ke mana aja??”

“Kabar baik. Akubaru pulang dari  Jakarta nih,  ke tempat eyang aku.”

Esok paginya ia dan Yuna berencana untuk berjalan-jalan keliling Jogja, dan mereka memutuskan untuk makan siang. Ia membuka laptop dan mengecek Facebook dan e-mail siapa tahu ada pesan dari Nia. Nia mengirimkan begitu banyak pesan sehingga ia sampai kewalahan saat Citra membuka Facebook tiba-tiba ada yang menge-addnya. Citra bertanya kepada Yuna ternyata dia mengenalnya,

“Udah Cit confirm aja. Dia sahabat baikku dan tau gak?? Dia seorang fotografer. Siapa tahu kamu bisa belajar fotogrefi sama dia. Belahan dunia barat sudah ia kunjungi. Katanya kamu kan suka sama orang yang suka pegang kamera dia itu pengen bangeet jadi fotografer, Ra....”

“Wow keren dong....hmmm. Namanya siapa ya??”

“Namanya Okta. Iyalah temenku kan keren-keren. Coba aja lihat fotonya. Besok aku ajak kamu ketemuan sama dia.”

“Yah elah, baru juga kenal. Okelah.”

Besok harinya mereka berencana untuk jalan-jalan lagi dengan teman Yuna yang bernama Okta.

“Hey Okta, sini. Kenalin nih sahabat aku Citra.”kata Yuna.

“Aku Citra. Senang berkenalan denganmu. Kuliah??”

“Oke. Aku Okta. Iya, sudah semester 3 di salah satu universitas negri di Jogja.”

Sejak saat itu Citra dan Okta menjadi akrab kemudian menjadi sahabat karib dan sering bertemu karena Citra minta diajari fotografi oleh Okta. Pagi ini adalah pagi hari yang berbeda, karena sudah 1 minggu ini setiap hari selalu ada bunga mawar di depan rumah Citra dan selembar surat bertinta hitam. Ia menceritakan hal itu ke Yuna, dan di hari itu adalah hari pertama Citra masuk sebagai seorang mahasiswi di universitas swasta di Jogja.

“Yuna, kok aneh ya sudah seminggu ini aku mendapatkan bunga mawar dan selembar surat bertinta hitam.”

“Wah, kamu punya fans tu....hmmm”

“Gak taulah...”

Orang itu sudah selama 3 bulan mengirimi aku bunga. Suatu ketika Citra bertemu lagi dengan Okta. Suatu sore ia mengajak Citra pergi ke taman,

“Sore Okta...”

“Sore juga Citra. Apa kabar hari ini??”

“Baik. Udah lama nih gak ketemu. Sibuk apa nih??”

“Biasalah sibuk motret ke sana-sini.heehhehe. Keliling yuk.”

“Ayo..”

Ketika pertemuan itu Citra merasa pusing dan tulang punggungnya terasa nyeri sekali. Okta mengantarkanku pulang. Dokter memvonis kalau ini hanyalah flu tulang, kalau kambuh Citra harus periksa lagi. Namun rasa nyeri itu kembali terulang terus-menerus sampai akhirnya dokter kembali memvonis bahwa itu adalah kanker tulang belakang stadium 3. Citra pun shock karena sebelum-sebelumnya aku tidak merasakan hal yang aneh. Dan yang Citra masalahkan adalah kuliahnya yang sudah mendekati semester akhir. Setiap Citra  harus kemoterapi, Yuna yang selalu menemaninya. Diam-diam Yuna pun menghubungi orang tuanya dan tidak memberitahukan hal ini ke Okta.

“Citra, bagaimana kabarmu hari ini?? Sakit?? Ayah dan ibu akan menemanimu di sini.”kata ayahku.

“Sakit, yah. Rambutku lama-lama rontok.”

“Sabar ya Citra. Kami selau berdoa untukmu termasuk adikmu Nino.”

“Nino mana?? Aku mau bertemu dengan dia.”

Nino adik Citra kini sudah duduk di bangku kuliah semester 2. Dulu mereka sering bermusuhan, namun sejak Citra sakit, Nino malah menjadi sayang kepadanya. Selama ia opname di rumah sakit, Okta tidak tahu tentang penyakitnya. Sepulang dari rumah sakit ia pun segera menemui Okta di taman dengan memakai rambut palsu.

“Okta, maaf ya sudah 1 bulan ini aku tidak memberi kabar. Aku sibuk dengan persiapan KKNku.”

“Tidak apa-apa Citra, aku juga seperti itu waktu mau KKN. Eh ngomong-ngomong kamu ganti model rambut ya??”

“Hah?? Emang beda ya??”

“Banget. Hahahaha tapi tetep cantik kok.”

Semangat hidup Citra kembali bangkit semenjak ia bertemu dengan Okta dan kabar gembira lainnya adalah Nia yang pulang dari Belanda. Meskipun dokter mengatakan kalau hidup Citra tidak akan lama lagi. Namun di depan Okta, ia harus memperlihatkan ketegaran hatinya supaya Okta tidak terlihat curiga.

“Citra, apa kabar?? Apa benar kamu lagi sakit?? Eh kata Yuna kamu udah punya pacar, siapa??”

“Kabar baik Nia. Sakit?? Enggak ah. Oh Okta, dia bukan pacar aku dia fotografer, Yuna ngawur tu. Berkali-kali aku jadi objek jepretannya dia. Sebal deh.. kamu udah punya juga??”

“Tapi kok wajah kamu pucat?? Wah keren dong... udah dong. Namanya Robert dia dokter spesialis tulang. Eh kok aku baru nyadar ya kalo rambutmu baru?? Kok kaku sih kayak pake rambut palsu??”

“Ini karena aku belom sarapan Nia.hehehehe. Ah kamu ini ngomong apa?? Rambut asli lah cuma aku pake hairspray aja.hehehehehe”

“Makan bareng yuk, aku traktir deh kan aku pulang dari Belanda.”

Ketika sarapan pagi Citra merasa mual karena pengaruh obat kemoterapi yang ia jalani. Nia pun menaruh rasa curiga terhadap Citra ehingga dia ingin mencari lebih jauh dan bertanya ke Yuna,

“Yuna, Citra sakit ya??”

“Enggak. Kenapa??”

“Kamu gak usah bohong deh kemaren aku ketemu sama dia dan aku lihat dia wajahnya pucat gitu dan lagi dia kayak pakai wig. Ayolah, aku kan sahabatnya dia juga.”

“Oke aku mau cerita, Citra mengidap penyakit kanker tulang stadium 3 dan dia juga harus ikut kemoterapi sehingga kepalanya botak da harus memakai rambur palsu.”

“Apa??Kanker??Kita bawa dia berobat ke Belanda aja. Dan kebetulan aku punya kenalan dokter spesialis tulang yang siapa tau bisa bantu dia.”

“Hmmm. Bagus juga idemu.”

Citra dikabarkan masuk rumah sakit lagi. Yuna dan Nia ikut menjenguk Citra dan memberitahukan rencana Nia untuk membawa Citra ke Belanda. Saat Citra membaca surat terakhir Okta, Okta berkata kalau dia mendapat kontrak job selama 3 tahun di Paris, Perancis  dan siang itu Citra berangkat ke bandara. Secara otomatis ia ingin bertemu Okta di bandara meskipun Yuna dan yang lain melarangnya karena ia masih lemah. Yuna pun mengantarkannya ke bandara, dan sampai di sana Citra berlari untuk menemukan Okta. Ternyata pesawat yang ditumpangi Okta akan berangkat. Citra nekat masuk ke landasan di mana pesawat Okta sedang bersiap untuk meninggalkan landasan.

“Okta....”teriak Citra.

“Citra??Makkasih kamu mau dateng.Hey,  Kamu kenapa?? Kemana rambutmu??”

“Aku ingin memberi tahu sejujur-jujurnya kalau aku mengidap penyakit kanker tulang belakang. Maaf kalau selama 4 bulan ini aku menyembunyikan penyakitku. Mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Makanya aku menyempatkan untuk datang ke sini menemuimu sahabatku.”

“Kamu gak boleh ngomong gitu. Kita akan jadi sahabat baik selamanya.”

Ketika mereka saling berpelukan, Citra tiba-tiba pingsan dan itu mengejutkan Okta, Yuna, Nia dan yang lainnya. Mereka segera membawa Citra ke rumah sakit, di dalam hati Okta terdapat penyesalan mengapa ia harus pergi ke Paris saat sahabatnya sakit.

Pagi harinya Citra berangkat ke Belanda untuk mendapatkan pengobatan yang lebih canggih. Sampai di Belanda, perawatan secara intensif pun di lakukan operasi pendonoran tulang belakang pun dilangsungkan di sana. Vonis yang dikatakan dokter pun sudah tidak berlaku, Citra kini sudah sembuh dari penyakitnya. Sehingga 1 tahun kemudian ia pulang ke Indonesia untuk melanjutkan kuliahnya. Setelah lulus kuliah, ia juga mendapat pekerjaan yang megharuskan Citra pindah ke Paris, Perancis. Ia ingat kalau Okta sahabatnya juga tinggal di Paris, Perancis. Citra berencana datang ke kantor Okta dan memberi kejutan untuknya dengan menuliskan surat bertinta hitam,

To My Best Friend:  Daniel Okta
From: Felicia Citra.

Okta, apakah kamu masih ingat aku?? Aku Citra. Aku sudah sembuh dari penyakitku. Sekarang ini aku juga bekerja di Paris, Perancis. Aku inginmengundangmu makan malam pukul 7 di restoran Eiffel Tower.

Okta pun tersenyum mengenang ketika ia masih tinggal di Indonesia. Ia pun sepakat untuk bertemu Citra di restoran tersebut.

“Citra....”

“Hey, apa kabar??”

“Baik. Kamu sudah terlihat sehat.”

“Iya. Ternyata Tuhan masih menghendaki aku untuk hidup. Gimana kerjaanmu?? Objeknya tentu bagus dong. Udah kemana aja??”

“Kerjaanku luar biasa.hahahaha. kemarin aku baru pulang dari Belanda, Madrid, Roma. Besok deh aku bawain fotonya.”

“Oke.”

“Emmm... Citra, boleh gak aku ngomong jujur??”

“Apa?? Boleh, santai aja lagi.”

“Sebenernya yang ngirimin surat bertinta hitam dan bunga mawar itu aku. Karena sebenarnya aku menyukaimu. Tapi gak usah jawab sekarang juga gak apa. Maaf aku lancang.”

“Jadi selama ini kamu to yang buat surat dan puisi itu?? Kamu berbakat sekali, boleh gak hasil karyamu aku bikin buku?? Oh soal itu... sebenernya aku juga suka sama kamu sejak aku ketemu kamu pertama kali.”

“Wah aku kan gak berbakat, itu gak sengaja aja aku nulis puisinya. So jawabanmu??”

“Iya. Aku mau jadi sahabat sekaligus orang yang menyukaimu..”

“Kita resmikan di Eiffel Tower ini ya..”

“Oke..hahahaha”

            Sejak itu Citra dan Okta menjadi sepasang kekasih. Impian Okta untuk menjadi fotografer terkenal menjadi kenyataan dan juga impian Citra untuk menjadi penulis juga menjadi kenyataan dengan judul buku pertama SELEMBAR SURAT BERTINTA HITAM. Dan ketika mereka memutuskan untuk kembali ke Indonesia, sampai di Indonesia mereka langsung mendapat tawaran yang berlimpah, Okta pun mendirikan studio foto dan Citra mendirikan toko buku di Jogja, tak lupa Citra juga mengundang Yuna dan Nia dalam peresmian toko bukunya. Namun sayang, esok paginya Nia harus kembali ke Belanda untuk melanjutkan studinya di sana, tetapi itu tidak menjadi masalah dalam persahabatan mereka.


Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

If We Hold On Together