After 5 Semesters, What Next?
Malam minggu, banyak orang mungkin akan menghabiskan
waktu mereka bersama dengan orang yang mereka kasihi; mungkin pacar, keluarga,
dan bahkan tugas bisa dijadikan sahabat. Sebenarnya tidak terbayangkan akan seakrab ini dengan mereka.
Selama lima semester bersama, berjuang bersama, mengerti dan memahami karakter
masing-masing.
Hujan deras melanda saat itu. Ini pertama kalinya saya
mengendarai motor di saat hujan menuju ke Kaliurang. Setelah kurang lebih
satu jam perjalanan, saya bertemu dengan seorang teman di pintu gerbang Kaliurang. Hujan sudah
lumayan reda. Mengobrol sambil menunggu teman-teman yang lain karena mereka
berencana untuk berangkat bersama-sama dari kampus. Tak lama kemudian beberapa rombongan
datang dan kami semua konvoi bersama menuju wisma yang sudah kami sewa. Lumayan
jauh, tetapi dekat dengan objek wisata Taman Kaliurang. Suasana dingin menyapa
kami apalagi setelah diguyur hujan dari Jogja. Berada di lereng bawah Gunung
Merapi, kami akan menghabiskan dua hari satu malam di sini. Mengakrabkan diri
setelah lima semester bersama-sama.
Mungkin banyak yang mengganggap dan
bertanya-tanya, “Kenapa baru sekarang sih makrabnya? Emang mau ngapain aja? Kan
lagi sibuk banget.” Tak jarang juga ada yang terlalu antusias, biasa saja, dan tidak
bisa ikut karena ada acara keluarga. Sebenarnya tidak terbayangkan di benak
saya, makrab atau malam keakraban yang sudah direncanakan satu tahun yang lalu akan terlaksana seasyik ini. Acara bebas di malam minggu, sejenak
melupakan kejenuhan dan terbayarkan dengan pemandangan hijau di depan mata. Beristirahat
sejenak dan menghangatkan badan sebelum acara utama dimulai, yakni Saturday
with Pak Markus.
Kurang lebih pukul 14.30 WIB acara dimulai. After five semesters, what next? Sebuah pertanyaan
yang ditanyakan oleh dosen pembimbing kami, Pak Markus saat mendampingi kami
dalam acara malam keakraban yang bertempat di Wisma Kaliurang. Pertanyaan
tersebut ditujukan untuk seluruh anak yang mengikuti makrab tersebut. Sekitar dua
puluh sembilan anak yang bergabung karena empat orang lainnya tidak bisa hadir.
Banyak dari teman-teman mengutarakan pendapat mereka seputar pengalaman baik dan berkesan, ada juga yang bercerita mengenai perkembangan mereka selama
lima semester belajar di Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma. Banyak dari teman-teman bersyukur mendapatkan keluarga seperti ini, ada juga
yang menangis terharu karena baru sempat mengutarakan semuanya, bahkan Pak Markus sendiri nampak menghayati apa yang teman-teman utarakan.
Pada akhirnya tiba saatnya giliran saya mengutarakan
pendapat. Sebenarnya saya tidak menyangka kalau cerita saya ini panjang untuk disimak. Sederhana saja, saya menceritakan bagaimana saya masuk PBI Universitas
Sanata Dharma.
Selamat sore teman-teman. Sebelum saya akan memulainya
dengan sebuah cerita. Sebenarnya saya masuk PBI ini tidaklah mulus. Awalnya saya
diterima di Pendidikan Bahasa Indonesia. Saya mencoba sampai tiga kali. Pada awalnya
saya mencoba dengan menggunakan nilai rapor, namun saya tidak lolos. Kedua,
saya mencoba dengan tes kerja sama di sekolah, namun tidak lolos juga. Saya sempat
putus asa, beberapa hari sebelum ujian nasional, guru bahasa Inggris saya
bertanya, “Sari, berapa target nilaimu untuk ujian bahasa Inggris?”
Dengan lantang saya menjawab, “Delapan puluh, sir.”
Puji Tuhan ketika itu, saya mendapatkan nilai 88. Setelah
itu saya mencoba untuk ketiga kalinya medaftarkan diri melalui jalur ujian nasional. Puji
Tuhan saya diterima.
Masuk kuliah di tahun 2013. Di saat itu ibu saya juga
melanjutkan sekolah karena ibu saya seorang perawat. Pada awalnya IPK saya
tinggi, di semester dua dan tiga IPK saya turun drastis, tetapi Puji Tuhan
masih mencapai angka 3,0. Mungkin juga saya stress karena setiap pulang kuliah
saya harus mengerjakan tugas dan juga terkadang membantu ibu saya untuk
mengedit pekerjaannya. Di semester empat, IPK saya naik. Di semester itu juga
saya mengikuti kepanitiaan EAD (English Action Days), sampai pada di semester
lima yang bertambah naik karena kesibukan play performance. Mungkin karena kesibukan itulah saya terpancing untuk meningkatkan nilai saya di kelas.
Sebenarnya saat play performance saya memilih untuk
ikut dalam tim produksi, bukan untuk memisahkan diri dengan kelompok kecil. Tetapi
saya ingin menantang diri sendiri untuk bisa mengenal dunia luar. Sebenarnya ada
enaknya bergabung dengan tim produksi karena bebas. Negatifnya bisa bolos
ketika kelas berlangsung karena harus mengurus urusan sponsor pada saat itu. Berkenalan
dengan orang-orang baru dari luar kampus, seperti dari tim redaksi Harian Jogja
dan Harian Bernas. Saya menemukan jati diri saya ketika di semester tiga,
bersama dua orang teman mengikuti workshop menulis cerita pendek yang
bertemakan Nembak Itu Seruu!!
Di sanalah saya mulai mengenal siapakah diri saya. Menulis dua cerita pendek dan akhirnya dibukukan menjadi kumpulan cerita pendek dalam buku Nembak Itu Seruu!! Hingga pada akhirnya saya memberanikan diri untuk mengirimkan artikel ke redaksi Harian Bernas dan hingga saat ini saya masih ingin mencoba untuk terus menulis, mengasah kemampuan saya.
Di sanalah saya mulai mengenal siapakah diri saya. Menulis dua cerita pendek dan akhirnya dibukukan menjadi kumpulan cerita pendek dalam buku Nembak Itu Seruu!! Hingga pada akhirnya saya memberanikan diri untuk mengirimkan artikel ke redaksi Harian Bernas dan hingga saat ini saya masih ingin mencoba untuk terus menulis, mengasah kemampuan saya.
Tidak banyak yang tahu dengan cerita saya. Di sisi
lain saya merasa lega karena apa yang sudah saya simpan selama lima semester
ini sudah saya tumpahkan pada hari itu juga, bersama dengan teman-teman yang
sudah menjadi keluarga selama ini.
Terima kasih teman-teman karena sudah menerima saya
sebagai teman dan keluarga kalian. Pada awalnya saya memang mengira kalau di
PBI saya hanya mahasiswi biasa-biasa saja. Ternyata tidak, di sini saya
berkembang. Menemukan jati diri untuk terus menulis. Terima kasih karena di
sini saya belajar untuk jujur dengan diri sendiri melalui tulisan-tulisan yang
saya buat. Terima kasih, karena di sini saya mendapatkan banyak pencerahan
untuk menemukan ide-ide baru dari kalian. Kalian begitu istimewa untuk menjadi
bagian dari tulisan ini.
Di akhir cerita saya waktu itu, saya menutupnya dengan
kata-kata yang terinspirasi dari sahabat saya,
“Terima
kasih teman-teman karena kalian sudah menjadi tinta warna untuk hidup saya. Tanpa
kalian, saya hanyalah tinta hitam,” ~ Sari.
Maria Ardianti Kurnia
Sari
25 Februari 2016
21:02 WIB