Ganjuran Hening di Pagi Hari
Masih dengan suasana lebaran. Tepat satu
minggu aku menginap di rumah simbah. Liburan yang benar-benar liburan. Liburan
kali ini yang selama ini aku cari. Berkumpul bersama dengan saudara-saudara.
Menikmati kebersamaan dari pagi hingga pagi-pagi berikutnya.
Hanya di rumah simbah, pukul delapan
malam aku sudah mengantuk. Suasana di desa yang sepi di malam hari. Jauh dari
jalan raya dengan suara kebut-kebutan mereka. Hanya di rumah simbah, suara alam
itu ada, suara jangkrik dan katak saling bersahutan. Malam yang tenang, aku
mulai terlelap setelah memasang alarm.
Alarm pagi itu belum sempat berbunyi,
namun aku sudah terbangun. Tepat pukul empat lebih dua puluh menit. Suara
Imsyak dari masjid saling bersahutan, membangunkan mereka yang harus
menjalankan shalat lima waktu.
Pukul setengah lima pagi, aku segera
bergegas mandi. Sepi sekali. Pagi itu belum ada yang bangun. Hanya orang kurang
kerjaan yang mungkin akan mandi sepagi itu di saat libur.
Pukul lima pagi, aku segera memanaskan
bebek besiku. Menuju Gereja Ganjuran pagi itu untuk mengikuti Misa harian. Pagi
itu adalah liburan terakhir di rumah simbah. Aku sengaja mengawali hari dengan
mengikuti Misa harian pagi. Misa hanya berlangsung setengah jam, setelah itu
dilanjutkan dengan doa Malaikat Tuhan.
Aku segera menuju Candi Tyas Dalem Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Sengaja, menutup doa pagi di depan candi itu.
Ganjuran hening di pagi hari. Hanya nampak tiga orang peziarah yang berdoa di
sana termasuk diriku. Lilin-lilin itu masih menyala, menandakan semalam atau
tadi subuh ada yang berdoa di sana. Hening, hanya terdengar suara kicauan
burung-burung dan angin pagi yang menyejukkan. Ganjuran hening di pagi hari,
mengingatkanku akan sebuah percakapan malam sebelumnya,
“Doakan yang terbaik saja.”
Begitu sederhana.
Maria Ardianti
Kurnia Sari
Yogyakarta, 15
Juli 2016
23:20 WIB