Seventeen-year and still Counting
Senin yang lalu, 27
Juni 2016. Sebenarnya tidak ada suatu hal yang istimewa. Hanya saja saat itu
aku diajak salah seorang sahabatku untuk menikmati suasana di ArtJog 2016. Jujur saja
aku baru pertama kali datang ke ArtJog. “ArtJog setiap tahun selalu memberikan
kesan dan cerita yang berbeda,” begitu katanya.
Sebelum ke sana, Fausti atau akrab dipanggil Otin, mengajakku ke Kapel Adorasi
Gereja Kidul Loji. Bukan pertama kalinya aku datang ke Kapel Adorasi Gereja Kidul Loji, namun memang dia
yang pertama kali mengenalkanku tentang Kapel Adorasi; tiga tahun yang lalu
sebelum Ujian Nasional SMA. Tiga tahun yang lalu, ketika aku dan Otin berdoa di
sana, kami berjanji untuk datang kembali ketika doa kami dikabulkan. Puji Tuhan,
doa itu terjawab, namun waktu yang masih sulit untuk mempertemukanku dengan
Otin saat itu. Tiga tahun mungkin adalah waktu yang cukup lama untuk datang
kembali dan berdoa lagi di sana, bersama-sama dan dengan kisah kami yang
berbeda.
Sekitar dua puluh
menit, berdiam diri dan sejenak berdamai dengan diri sendiri, berkomunikasi
dengan Sang Pencipta, membuat kami menjalar pada pikiran masing-masing. Apa yang
aku harapkan mungkin berbeda dengan apa yang Otin harapkan. Sederhana, tetapi satu tujuan.
Langit mendung kala itu
menyapa kami ketika keluar dari Kapel Adorasi. Mungkin akan turun hujan,
pikirku saat itu. Tanpa pikir panjang, kamipun menuju Jogja Nasional Museum
tempat di mana ArtJog 2016 diselenggarakan. Tak lama, langit pun menangis,
lumayan deras sehingga mau tidak mau harus memakai jas hujan.
Sepi. Mungkin karena
hujan sehingga pengunjung belum terlalu banyak yang datang ke museum itu atau
mereka akan datang di malam hari, tepat saat puncak acara penutupan Artjog 2016.
Museum itu terdiri dari tiga lantai, dan setiap ruangan digunakan untuk
memamerkan hasil karya dari para seniman. Ada banyak karya yang ditampilkan di
sana. Rata-rata memang sebuah kritikan, entah untuk siapa.
“Mau foto di mana?”
tanyaku.
Ada banyak karya
menarik di sana. Salah satunya adalah lorong menuju jalan keluar museum. Banyak pengunjung yang mengunggah hasil foto dengan latar lorong tersebut.
“Di lorong ini sama
di mobil itu aja,” kata Otin.
“Ayo foto berdua. Udah lama enggak foto
bareng,” ajakku.
“Terakhir foto bareng
pas kita lomba lukis gerabah.” (tahun 2004 saat kami di Sekolah Dasar.)
Beberapa spot sangat menarik untuk dijadikan background. Tapi aku lebih menyukai
ketika berfoto di lorong itu. Kalau di kampusku ada sebuah lorong bernama Lorong Cinta atau The Tunnel of Love. Namun di ArtJog ini, aku menyebutnya The Tunnel of Life. Mengapa?
Boleh diakui, aku mengenal Otin sejak di bangku taman kanak-kanak, sekitar tahun 1999. Jika dihitung-hitung sudah sekitar tujuh belas tahun kami berteman, tak hanya teman, tetapi sahabat. Kami duduk di bangku Taman Kanak-kanak, bertemu kembali di bangku Sekolah Dasar. Dipisahkan ketika di bangku Sekolah Menengah Pertama. Bertemu kembali ketika di bangku Sekolah Menegah Atas. Di SMA, memang tidak satu sekolah, namun satu yayasan. Dan akhirnya universitas kami pun saling berhadapan dan berseberangan. Otin mengambil Ilmu Hukum, dan aku mengambil Pendidikan Bahasa Inggris. Sebenarnya tak jauh berbeda, rumah kami pun berdekatan. Namun karena kesibukan masing-masing, kami jarang berjumpa.
Tujuh belas tahun
bukanlah waktu yang singkat. Aku akui itu. Kalaupun kita, sebagai manusia yang berulang tahun,
pasti banyak yang menyebutnya sweet seventeen karena sudah benar-benar memiliki identitas resmi dari negara. Kalau
menurut psikologi, “Jika persahabatan lebih dari tujuh tahun, persahabatan itu
akan terjalin seumur hidup.” Percaya atau tidak, tergantung kita yang
menjalaninya, menjalin komunikasi yang baik dan saling mendukung satu sama lain
All photos by: Raisa Hani Tamara
In frame: Maria Faustina Beata and Maria Ardianti Kurnia Sari
Location: Jogja National Museum ~ ArtJog 2016.
Location: Jogja National Museum ~ ArtJog 2016.
Maria Ardianti
Kurnia Sari
Yogyakarta, 3
Juli 2016
20:57 WIB