Apakah Sudah Pas-kah untuk Merayakan Hari Raya Paskah?

 Dokumentasi pribadi: Gereja St. Alfonsus Nandan Yogyakarta

Hari Raya Paskah 2017 baru saja terlewatkan satu minggu yang lalu. Entah mengapa ada rasa yang sedikit berbeda untuk Paskah tahun ini. Tahun-tahun sebelumnya, masih ingat di dalam benakku ketika masih menjadi Putra/i Altar. Sungguh sebuah tugas yang luar biasa ketika itu. Aku seringkali bertugas ketika Kamis Putih 1 dan Malam Paskah 1, tetapi aku juga pernah mencoba bertugas ketika Sabtu Palma dan Paskah Pagi. Hmmm…

Ketika itu aku masih duduk di bangku SD dan SMP, namun terakhir aku bertugas sebagai Putra/i Altar yakni di tahun 2012 ketika menjelang kelas tiga SMA. Mengenal berbagai macam alat-alat ekaristi merupakan sebuah pengetahuan baru, apalagi ketika mempraktekkan untuk menggunakannya, salah satunya wirug atau alat pendupaan yang hanya dipakai ketika hari raya tertentu. Pengalaman berharga ketika bisa bergabung dengan mereka dan menjalankan tugas yang tidak mudah itu.

***
Merayakan Hari Raya Paskah bisa dirayakan dengan berbagai cara, namun aku sendiri tidak memerlukan tata cara yang “wah”. Aku hanya merayakannya di gereja dan memaknai setiap kisah sengsara-wafat-dan kebangkitanNya. Ada sebuah momen ketika aku memang memaknai arti Jumat Agung. Entah mengapa aku jatuh cinta dengan satu buah lagu dari Madah Bakti nomor 411 yang berjudul Hai Umat-Ku Apa SalahKu Padamu. Liriknya begitu menyentuh ketika aku begitu memaknainya. Sedikit mengena ketika harus diratapi. Berikut liriknya tertulis:

Hai umat-Ku apa salahKu padamu?
Jawablah Aku kapan kau Kususahkan

*bait 4

Engkau salah Kuampuni
Engkau jauh Kudekati
Namun kini jawabanmu
Aku sudah kauingkari

Merasa bersalah saja ketika harus mengingat lirik lagu tersebut. Namun Paskah memang selalu istimewa untuk disambut dan dirayakan. Ada banyak pelajaran juga yang aku dapatkan ketika menjelang penyambutan Hari Raya Paskah ini. Aku yang tadinya terlihat jarang sekali ke gereja setiap Jumat untuk ikut ibadat Jalan Salib, tapi sejak melaksanakan PPL aku menjadi sering mengikuti ibadat Jalan Salib. Memaknai perjalanan kisah sengsaraNya sebelum disalibkan.

Paskah 2017 ini aku juga berharap menjadi tahun terakhir di mana akan berjuang di bangku kuliah. Ya. Paskah kali ini aku rayakan di tengah mengerjakan skripsi. Namun disela-sela untuk mengerjakan skripsiku, aku tertarik untuk mengikuti latihan koor yang juga akan digunakan untuk tugas di tengah-tengah pekan suci Paskah. Pernah ada pepatah yang mengatakan, “Kalau kamu enggak pernah memberikan sedikit waktumu untukNya, ya kamu enggak akan pernah punya waktu.” Dari situlah aku mencoba untuk membagi waktuku untukNya juga. Terkadang memang ketika aku sedang suntuk, aku kadang tidak ingin untuk berdoa dan malah melupakanNya. Takut. Entah apa yang aku takutkan untuk berdoa padaNya.

Ketika Misa Paskah pagi tiba, aku seolah mendapatkan pengetahuan baru dari khotbah Romo. Memang aku akui, tidak banyak orang tahu bagaimana Paskah berlangsung. KebangkitanNya di hari ketiga setelah Ia wafat disalib. Banyak orang hanya mengenal Natal sebagai perayaan istimewa umat Nasrani, namun menurutku Paskah inilah yang istimewa. Seperti apa yang aku tuliskan di atas, Paskah berarti memaknai kisah sengsara-wafat-dan kebangkitanNya. Sedangkan Natal? Khalayak ramai ikut serta merayakannya. Khalayak ramai berlomba-lomba untuk mendapatkan baju ataupun pernak-pernik diskon di beberapa pusat perbelajaan. “Biarlah Hari Raya Paskah ini kita saja yang tahu. Jangan pula disebarluaskan, tidak pula disambut seperti Hari Natal. Berbagai macam diskon di pusat perbelanjaan. Lagu-lagu Natal disenandungkan. Biarlah Paskah ini menjadi Hari Raya yang hening, yang tersembunyi, yang bisa kita maknai ditengah kisah sengsara-wafat-dan kebangkitanNya.”

Sontak aku bertanya pada diriku sendiri, “Apakah sudah pas-kah untuk merayakan Hari Raya Paskah?”


Maria Ardianti Kurnia Sari
22 April 2017
12:35 WIB

Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

Doa Harian Ibu Teresa