Aroma Senja Kala Itu
Senja selalu bercerita. Senja selalu membawa kesan
istimewa. Senja selalu membawa kenangan bagi penikmatnya. Aroma pemandangan
yang khas menggambarkan semburat jingga di ufuk barat. Para penikmatnya tak
lelah untuk bermain di bawah senja yang masih sama kala itu.
Jumat yang lalu, 10 Juni 2016. Para penikmat senja
berkumpul di sebuah lapangan basket. Melakukan pemanasan terlebih dahulu
sebelum memulai latihan. Berlari lima putaran yang kurang lebih sekitar dua
kilometer. Keringat bercucuran, lelah menghadang, dan nafas mulai
terengah-engah. Namun para penikmat senja ini tetap berjuang untuk memberikan
yang terbaik.
Tak cukup hanya dengan berlari, mereka kembali ke
lapangan untuk melakukan pemanasan berikutnya di sana. Sang pelatih mulai mengeluarkan
peluitnya dan mulai meneriakkan semangat untuk para penikmat senja. Suara
peluit mulai terdengar dan beberapa dari mereka mulai berlari mengitari
lapangan, melompat, berteriak. Tak hanya sekali dua kali, namun
berkali-kali. Latihan fisik seperti itulah yang dinikmati oleh para penikmat
senja.
Ada dua penikmat senja yang lain sudah berada di sana.
Ia siap menuliskan cerita-cerita, dan yang lain siap dengan senjata kameranya.
Para penikmat senja ini juga sedang berlatih, bukan latihan fisik, melainkan
mental. Mengkomposisikan ketajaman mata kamera, mengabadikannya menjadi
beberapa buah potret yang penuh kenangan. Penikmat senja yang lain juga tidak
mau kalah. Mempersiapkan diri untuk mengukir kata-kata melalui kertas dan pena,
membentuk paragraf demi paragraf melalui pandangan mata.
Penikmat senja yang lain mulai datang, meramaikan
aroma senja di tempat itu. Mereka ikut serta dan tidak ingin terkalahkan. Ia
datang dan membawa sebuah tas berisi senapan yang dimilikinya. Sebuah benda
yang digunakan untuk mengabadikan kenangan. Ia tidak datang sendirian, ia
bersama dengan seseorang yang juga siap mengabadikan senja melalui
tulisan-tulisannya. Mereka saling bertukar pikiran, mereka saling bercerita,
mereka saling memberi semangat. Hingga akhirnya mereka berkumpul di sana,
menyaksikan para penikmat senja melatih mental mereka. Keringat para penikmat
senja terus bercucuran, bentakan pelatih mulai terdengar memecah keheningan
senja kala itu.
Aroma senja kala itu memang berbeda, namun terukir di bawah
langit yang sama. Senja kala itu adalah senja yang sayang untuk dilewatkan.
Senja kala itu adalah senja yang begitu ramah menyapa para penikmatnya,
mendampingi para penikmatnya hingga mereka selesai berlatih. Senja kala itu
terasa begitu teduh di hati masing-masing penikmatnya. Ada raut lelah di wajah
para penikmatnya, namun senja kala itu selalu memberikan senyuman dan tawa bagi
para penikmatnya.
Kala senja telah memudar, dua penikmat senja mulai
mengundurkan diri. Mereka pulang mengendarai bebek besi mereka. Menuju senja-senja
yang selanjutnya. Pertemuan dengan penikmat senja yang begitu singkat, namun
penuh makna. Senja yang telah mengabadikan kenangan itu, menyembunyikan keluh
dan kesah di dada, membuyarkan angan lelah dari dunia nyata. Senja ini, senja
yang menyimpan kejutan. Senja yang berbeda dari senja mendung sebelumnya, senja
yang cerah, begitu katanya. Senja yang tidak lelah menghibur para penikmatnya.
Apakah ini aroma senja terakhir? Apakah ini aroma
senja yang dirasakan para penikmat senja? Apakah aroma senja kala itu menandakan sebuah perpisahan? Hanya senja berikutnya yang bisa menjawab sebuah arti kata perpisahan.
**Inspirasi: Senja hari di
Lapangan Basket Trenggono SMA Stella Duce 2 Yk, 10 Juni 2016**
**Dokumentasi: Vina
Kanasya**
Maria Ardianti Kurnia
Sari
Yogyakarta, 14 Juni 2016
23:37 WIB