STERO, Sekolah Homogen yang Tidak Pernah Terbayangkan Sebelumnya
Sebenarnya cerita ini sudah dipublish di Majalah Bikar, majalah SMA Stella Duce 2 Yogyakarta pada bulan Mei lalu. Kurang lengkap kalau belum berbagi di blog.
Enjoy! :)
Sudah
hampir tiga tahun saya menjadi alumni Stero. Sudah cukup tua kah? Hahaha. Ya,
pada awalnya saya memang tidak tahu di manakah Stero itu berada, namun saya
tahu kalau Stero merupakan sekolah homogen. Saya tidak pernah membayangkan akan
bersekolah di sekolah homogen yang siswinya perempuan semua, bagaimana
ceritanya tiga tahun tanpa siswa dan isinya siswi semua? Sampai-sampai ada
istilah no man no cry. Di Stero
inilah saya dan teman-teman harus membuktikan kalau kami juga tidak kalah
dengan sekolah yang bersifat heterogen.
Di Stero
saya bertemu dengan teman-teman yang mayoritas malah datang dari luar Jawa.
Stero merupakan Indonesia mini, perbedaan karakter saling melengkapi untuk
menyatukan Indonesia mini tersebut. Indonesia mini ini saya temukan ketika saya
berada di kelas Bahasa. Kelas Bahasa terkadang memang disebut sebagai “kelas
buangan” karena tidak diterima di kelas IPA dan IPS. Hal tersebut salah besar
dan ketika hari pertama masuk kelas XI Bahasa, Frau Endah mengatakan bahwa bahasa
adalah jendela dunia tanpa bahasa mungkin banyak orang tidak bisa berkomunikasi
dan bersosialisasi. Saya memang penyuka Bahasa karena bahasa itu unik beserta
dengan siswi-siswinya dan dengan bahasa, kita bisa berekspresi. Banyak yang
mengatakan kalau kelas Bahasa itu anaknya selo
karena pada saat itu saya dan teman-teman sering keluar masuk perpustakaan atau
malah membaca novel ketika sedang sibuk-sibuknya. Hal tersebut merupakan hal
yang menyenangkan karena di sisi lain saya bisa bereksplorasi tentang bahasa
melalui novel-novel yang pernah saya baca.
Tiba
saatnya pertarungan dimulai, kami bangga mendapatkan Frau Endah sebagai wali
kelas. Di kelas XII Bahasa, perjuangan saya dan teman-teman, terkadang masih
saja berbuat nakal dan ngeyel, dan
saat itu hanya Frau Endah yang dapat menaklukkan kami. Ketika itu kelas XII Bahasa
memang terkenal urakan, “Epen deng dorang!”
Itu merupakan motto kami di kelas Bahasa. Kelas XII Bahasa juga pernah
ditakut-takuti kalau tidak serius belajar tidak akan lulus, kalau tidak lulus harus
ikut ujian paket dan tidak ada jurusan Bahasa nya. Tetapi kami telah
membuktikan kalau kelas Bahasa berhasil lulus 100%. We did it!
Di Stero
ini, saya juga pernah terpilih menjadi ten
best look 2012-2013. Proses pemilihan ten
best look sendiri melalui voting
yang dilakukan oleh teman-teman sekelas. Awalnya tidak percaya karena saya
menjadi salah satu bagian dari ten best
look. Ten best look merupakan
siswi-siswi yang dipilih karena bisa dijadikan contoh untuk teman-teman satu
sekolah, tidak hanya terpampang di brosur, tapi juga ikut mempromosikan Stero.
Saya bangga karena pernah menjadi salah satu bagian dari mereka, ikut serta
membawa Stero ke luar daerah meskipun tidak secara langsung.
Selama di Stero, saya memang benar-benar merasakan petualangan
yang menyenangkan bersama dengan orang-orang yang luar biasa dan juga
kenangan-kenangan yang dialami selama di Stero. Stero merupakan sekolah homogen
yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Keunggulan, kemandirian, dan
keceriaan yang diberikan oleh Stero akan terus saya bawa kemanapun. Hal ini
saya terapkan ketika pertama kali masuk universitas. Tiga tahun bersekolah di
sekolah homogen dan ketika masuk universitas, harus masuk kembali ke lingkungan
heterogen. Bu Siwi pernah berkata, “Biasanya kalau lulusan sekolah homogen
perempuan, nanti waktu kuliah pasti deketnya sama temen yang laki-laki.” Hal ini
memang terbukti dan bisa dikatakan sebagai pelampiasan karena tiga tahun
bersekolah di sekolah homogen ataupun untuk mencari pergaulan yang lebih luas,
tidak hanya aktif dalam bidang kemahasiswaan saja.
Nikmati perjuanganmu selama di Stero karena hal tersebut tidak
akan terjadi dua kali dalam hidup kalian dan tetaplah menjadi UNGGUL, MANDIRI,
CERIA.
“But
that doesn’t mean we won’t have amazing adventures…
… meet
exceptional people…
and make
indelible memories.” ~ Paper Towns.
Maria Ardianti Kurnia Sari
Yogyakarta, 15 Februari 2016
19:08 WIB