Pentalogi Ganjuran: Syahdu,Hening, Sendu, Terik, dan Memesona



Ganjuran Syahdu di Malam Hari

Sore tadi aku diajak oleh para sepupu untuk ikut bersama mereka menikmati malam minggu, namun aku memilih untuk pergi ke gereja. 

Malam ini masih libur lebaran. Aku pergi ke Gereja Ganjuran malam itu. menghadapNya selama dua jam, aku ingin mencari ketenangan, batinku. Sendiri, di malam minggu ini. Tidak apa-apa, Ia menemani.

Melangkahkan kaki di sana. Ini mungkin kali pertama misa sore sendiri di sana. Sebelum masuk ke gerbang gereja, aku sempat mampir ke salah satu toko di sana. Membeli satu kotak lilin. Aku ingin mendoakan mereka.

Misa dimulai pukul enam petang, berbahasa Indonesia karena Misa sebelumnya berbahasa Jawa. Ada banyak jemaat yang turut serta dalam Ekaristi kudus malam ini. Mungkin sebagian besar dari mereka sedang mudik ke kampung halaman.

Satu setengah jam, Misa selesai pukul setengah delapan malam. Aku melangkahkan kaki menuju Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Ada beberapa peziarah di sana. Hanyut dalam doa masing-masing. Lampu-lampu dan lilin-lilin menyala menerangi gelapnya malam. Ganjuran syahdu di malam hari, kataku. Aku mulai menyalakan delapan lilin, untuk mereka yang menitipkan doa melalui lilin-lilin ini. Untuk sahabatku, untuk orang tuaku, untuk orang-orang yang aku sayangi, kataku di dalam doa malam ini.

Ganjuran syahdu di malam hari, menemani di libur lebaran ini. Memaknai makna lebaran yang juga aku rayakan di tengah keluargaku. Ganjuran yang syahdu sudah menemani kesendirian di malam ini. Begitu sempurna, kataku lagi. Mendekatkan diri padaNya, bersyukur dan berdoa di tengah Ganjuran yang syahdu di malam hari.

***

Ganjuran Hening di Pagi Hari

Masih dengan suasana lebaran. Tepat satu minggu aku menginap di rumah simbah. Liburan yang benar-benar liburan. Liburan kali ini yang selama ini aku cari. Berkumpul bersama dengan saudara-saudara. Menikmati kebersamaan dari pagi hingga pagi-pagi berikutnya.

Hanya di rumah simbah, pukul delapan malam aku sudah mengantuk. Suasana di desa yang sepi di malam hari. Jauh dari jalan raya dengan suara kebut-kebutan mereka. Hanya di rumah simbah, suara alam itu ada, suara jangkrik dan katak saling bersahutan. Malam yang tenang, aku mulai terlelap setelah memasang alarm.

Alarm pagi itu belum sempat berbunyi, namun aku sudah terbangun. Tepat pukul empat lebih dua puluh menit. Suara Imsyak dari masjid saling bersahutan, membangunkan mereka yang harus menjalankan shalat lima waktu. 

Pukul setengah lima pagi, aku segera bergegas mandi. Sepi sekali. Pagi itu belum ada yang bangun. Hanya orang kurang kerjaan yang mungkin akan mandi sepagi itu di saat libur.

Pukul lima pagi, aku segera memanaskan bebek besiku. Menuju Gereja Ganjuran pagi itu untuk mengikuti Misa harian. Pagi itu adalah liburan terakhir di rumah simbah. Aku sengaja mengawali hari dengan mengikuti Misa harian pagi. Misa hanya berlangsung setengah jam, setelah itu dilanjutkan dengan doa Malaikat Tuhan.

Aku segera menuju Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Sengaja, menutup doa pagi di depan candi itu. Ganjuran hening di pagi hari. Hanya nampak tiga orang peziarah yang berdoa di sana termasuk diriku. Lilin-lilin itu masih menyala, menandakan semalam atau tadi subuh ada yang berdoa di sana. Hening, hanya terdengar suara kicauan burung-burung dan angin pagi yang menyejukkan. Ganjuran hening di pagi hari, mengingatkanku akan sebuah percakapan malam sebelumnya, 

“Doakan yang terbaik saja.”

Begitu sederhana.

***

Ganjuran Sendu di Waktu Hujan

Hujan selalu dirindukan oleh para penikmatnya. Air yang turun mengantarkan doa-doa yang tak sempat terucap. Mewakili setiap tangis dan rindu yang selalu dinantikan.

Ganjuran di saat hujan. Begitu yang mereka ucapkan. Hujan tak menyurutkan niat penikmatnya untuk tetap memandang setia rahmatNya. Ganjuran di saat hujan. Begitu yang terlintas di hati para penikmatnya. Doa Salam Maria dan Bapa Kami sayup-sayup terdengar di tengah rintik hujan.

Hujan tidak menyurutkan niat penikmatnya untuk berziarah. Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran tetap berdiri kokoh di sana. Mereka mengenakan jas hujan, hanya itu yang membuat mereka tampak berbeda. Duduk di pelataran candi, khusyuk dalam doa masing-masing.

Ganjuran sendu di waktu hujan. Menyisakan pelataran yang basah olehnya, menyejukkan hati para penikmatnya yang berdoa. Genangan air yang tersisa meninggalkan jejak hujan dan bayang-bayang kokohnya Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Ganjuran sendu di waktu hujan. Membiarkan pohon-pohon disekitarnya sebagai tempat berteduh di kala itu. Membiarkan mereka menikmati kesyahduan angan di dalam doa.

***

Ganjuran Terik di Kala Siang

Banyak yang enggan keluar rumah di kala siang. Panas, kata mereka. Sang raja siang tepat di atas kepala dan bayanganpun tepat tidak terlihat.

Siang begitu terik, namun ada kesejukan di sana. Pohon-pohon yang kokoh melindungi mereka dari sengatannya. Sesekali angin sepoi-sepoi membuat mereka semakin larut dalam doa. Menyebut nama Santo-Santa pelindung yang menjaga diri mereka. Angin siang itu mulai membuai mereka. Menyadarkan mereka akan bangunan kokoh Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran di siang hari. Sesekali daun berguguran, seakan ingin ikut berdoa.

Matahari semakin meninggi. Menciptakan peluh di pelipis mereka. Tampak sesekali mereka mengusapnya dengan sapu tangan atau handuk kecil. Mata mereka masih terpejam, mulut mereka masih mengucapkan mantra-mantra doa, dan hati mereka masih enggan untuk beranjak.

Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran masih kokoh ketika hujan turun, angin kencang, dan panas terik, serta gempa bumi beberapa tahun silam. Ia menjadi saksi kesetiaan mereka, para peziarah yang selalu percaya kepadaNya. 

Ganjuran terik di kala siang. Menyisakan doa dan cerita yang bergumul di sana. Mengajak mereka untuk berdiam sejenak menerima panas rahmatNya di siang itu. Ganjuran terik di kala siang. Membiarkan peluh itu terus mengalir dan digantikan oleh segarnya air Perwitasari. Ganjuran terik di kala siang. Menyejukkan angan dan doa yang terbawa angin agar sampai dipangkuanNya. Menebarkan cintaNya melalui angin menyejukkan di kala terik di siang hari.

***

Ganjuran Memesona Saat Prosesi Agung

Tahun ini Gereja Ganjuran berusia sembilan puluh dua tahun. Angka sembilan puluh dua bukanlah angka yang kecil ataupun sedikit. Usia di mana mungkin para simbah sudah momong cucu atau buyut mereka. 

Tahun-tahun sebelumnya aku seperti biasa tidak ingin ketinggalan untuk ikut berdoa saat Misa Prosesi Agung di Gereja Ganjuran. Misa Prosesi Agung yang selalu dirayakan pada hari minggu terakhir di bulan Juni. Misa berbahasa Jawa, para petugasnya, termasuk para Romo pun ikut serta mengenakan pakaian adat Jawa. Pukul tujuh pagi Misa dimulai, dan aku berangkat dari rumah pukul enam pagi. Jalanan masih sepi, udara dingin menerpa di sepanjang perjalanan, dan rasa kantuk enggan meninggalkan raga ini. Dengan mengendarai bebek besi berkecepatan lima puluh kilometer per jam, perjalanan seperti itu tetap aku tempuh.

Sayup-sayup terdengar doa dari para umat yang sudah hadir di sana. Yap! Misa Prosesi Agung yang diselenggarakan di pelataran Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Sebagian besar dari mereka adalah penduduk asli, para simbah yang sudah sepuh pun tak ingin ketinggalan untuk mengikuti Misa Prosesi Agung. Ada kesan tersendiri di hati mereka yang mengenal Gereja Ganjuran selama puluhan tahun yang lalu.

Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran itu dihias. Ada banyak bunga yang meramaikan kemeriahan itu, berbagai macam jajanan pasar yang diarak lewat gunungan-gunungan sebagai persembahan dan ucapan syukur kepadaNya. Para peziarah dari luar kota mungkin tidak paham dengan bahasa Jawa pun ikut serta berdoa di sana. Mereka menempuh ratusan kilometer untuk merayakan Misa Prosesi Agung ini.

Ganjuran memesona saat Prosesi Agung. Menghantarkan aku, kamu, dia, mereka kepadaNya dan menjadikannya kami. Ganjuran memesona saat Prosesi Agung. Membuat takjub para peziarah akan budaya Jawa yang masih kental. Memesona di mata peziarah di tengah doa-doa mereka.


*Photos by: Maria Ardianti Kurnia Sari

Maria Ardianti Kurnia Sari
Yogyakarta, 8 Agustus 2016
11:00 WIB






Popular posts from this blog

Filosofi Stik Es Krim

Gelang Tridatu: Menyimpan Filosofi Unik dalam Masyarakat Hindu Bali

If We Hold On Together