Ganjuran Memesona Saat Prosesi Agung
Tahun ini Gereja Ganjuran berusia sembilan
puluh dua tahun. Angka sembilan puluh dua bukanlah angka yang kecil ataupun
sedikit. Usia di mana mungkin para simbah sudah momong cucu atau buyut mereka.
Tahun-tahun sebelumnya aku seperti biasa
tidak ingin ketinggalan untuk ikut berdoa saat Misa Prosesi Agung di Gereja
Ganjuran. Misa Prosesi Agung yang selalu dirayakan pada hari minggu terakhir di
bulan Juni. Misa berbahasa Jawa, para petugasnya, termasuk para Romo pun ikut
serta mengenakan pakaian adat Jawa. Pukul tujuh pagi Misa dimulai, dan aku
berangkat dari rumah pukul enam pagi. Jalanan masih sepi, udara dingin menerpa
di sepanjang perjalanan, dan rasa kantuk enggan meninggalkan raga ini. Dengan mengendarai
bebek besi berkecepatan lima puluh kilometer per jam, perjalanan seperti itu
tetap aku tempuh.
Sayup-sayup terdengar doa dari para umat
yang sudah hadir di sana. Yap! Misa Prosesi Agung yang diselenggarakan di
pelataran Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Sebagian besar dari
mereka adalah penduduk asli, para simbah yang sudah sepuh pun tak ingin
ketinggalan untuk mengikuti Misa Prosesi Agung. Ada kesan tersendiri di hati
mereka yang mengenal Gereja Ganjuran selama puluhan tahun yang lalu.
Candi Tyas Dalem Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran itu dihias. Ada banyak bunga yang meramaikan kemeriahan itu, berbagai
macam jajanan pasar yang diarak lewat gunungan-gunungan sebagai persembahan dan
ucapan syukur kepadaNya. Para peziarah dari luar kota mungkin tidak paham
dengan bahasa Jawa pun ikut serta berdoa di sana. Mereka menempuh ratusan
kilometer untuk merayakan Misa Prosesi Agung ini.
Ganjuran memesona saat Prosesi Agung. Menghantarkan
aku, kamu, dia, mereka kepadaNya dan menjadikannya kami. Ganjuran memesona saat
Prosesi Agung. Membuat takjub para peziarah akan budaya Jawa yang masih kental.
Memesona di mata peziarah di tengah doa-doa mereka.
*photo by: Maria Ardianti Kurnia Sari
Maria
Ardianti Kurnia Sari
Yogyakarta,
8 Agustus 2016
10:00
WIB