Bromo Menyimpan Kisah Penikmatnya
Gunung Bromo, siapa yang tak tahu keindahan
gunung satu ini. Gunung api yang terkenal dan terletak di antara Kabupaten
Probolinggo, Malang, Lumajang, dan Pasuruan Jawa Timur. Aku memang belum pernah
pergi ke sana, menikmati keindahan alamnya secara langsung, namun aku tahu bagaimanakah
para wisatawan menikmati suasananya dan mengungkapkan rasa di sana. Mereka
harus pergi subuh-subuh untuk menikmati terbitnya matahari pagi. Melihat sinar keemasan
dari ufuk timur. Sinar kehidupan yang membayar rasa dingin dalam perjalanan.
Gunung Bromo, dikelilingi oleh padang pasir
yang luas. Sesekali warga sekitar tampak menawarkan kuda-kuda itu sebagai tumpangan,
ataupun mobil jeep yang akan mengantarkan para wisatawan yang ingin
segera sampai ke tempat tujuan. Padang pasir yang hening, sayup-sayup terdengar
doa-doa mereka, doa-doa yang diucapkan dari sebuah Pura yang tak jauh dari
sana. Udara dingin menusuk tulang tak menyurutkan mereka untuk berdoa pada Sang
Hyang Widi Wasa.
Tak jauh dari sana, ia, yang selama satu
setengah bulan harus tinggal di sana. Menjalankan tugasnya untuk mengabdi pada
masyarakat di daerah Cemorolawang. Menikmati segarnya udara dingin yang
menyapa.
"Desanya lebih tinggi dari Gunung
Bromo," katanya.
Senja itu, ia mengirimkan sebuah foto
Gunung Bromo. Karena langit sudah menggoreskan semburat jingga, Bromo hanya
terlihat samar, tertutup mendung yang mendominasi warna langit. Hanya tampak
ukiran-ukiran jalanan dari ketinggian entah berapa kaki di atas laut.
"Bromo erupsi sedikit hari
ini," katanya lagi.
***
Esok hari Bromo terlihat lebih indah.
Langit biru itu menjadi latar belakang Gunung Bromo yang berwarna hijau. Memang
sesekali tampak asap dari puncaknya. Asap putih itu membumbung tinggi dan menghiasi
langit biru pagi itu.
Ia berdiri di sana, mengenakan jaket untuk
melindunginya dari dinginnya udara. Ia membelakangi kamera yang mengabadikan
keindahan alamnya. Entah apa yang ada di dalam angannya, seolah semua sudah terbayar
dan terbayangkan dihadapannya. Bromo, sudah menggambarkan semuanya. Memberikan harapan
di hari esok.
Ia masih bertahan di sana. Belum ada
setengah perjalanan yang ia tempuh. Menikmati segarnya udara pagi yang masih
sama. Menjauhkan diri dari hiruk-pikuk kota besar, dan mendekatkan diri pada
alam ciptaanNya. Jauh dari kota besar memang tidak menyurutkan langkahnya. Membiasakan
diri untuk bersatu dengan mereka.
Mereka menyambutnya dengan senang hati.
Bahu-membahu untuk membangun desa itu. Mengajarkan pada mereka pada ilmu pengetahuan
yang telah diperoleh di kota besar.
Malam itu aku bertanya. Bukan sebuah pertanyaan
yang rumit, hanya mungkin pertanyaan iseng saja. Pertanyaan tentang hujan. Hanya
itu.
"Di sana hujan kah? tanyaku.
"Di sini jarang hujan. Makanya
dingin. Bagaimana di Jogja?"
"Jogja masih sering hujan. Kalau hujan
dingin kah?"
"Di sini dingin kalau malam hari,"
ungkapnya. "Kalau hujan turun suhu jadi hangat karena uap air menguap.
Besok subuh aku mau ke Bromo."
Ia benar-benar menakhlukkan Bromo. Bangga.
Itu yang ingin dia sampaikan. Mungkin ingin berteriak. Merasakan kebebasan yang
ia nikmati selama satu setengah bulan, sebelum pada waktunya ia harus kembali
pada sebuah realita.
Alam menyambutnya dengan suka cita.
Begitu jelas di antara langit yang berwarna biru jernih itu. Tak ada mendung
yang menutupi, hanya saja matahari begitu terik dan mungkin sebagian orang enggan
untuk ikut serta menikmatinya. Entah berapa jam yang diperlukan untuk bisa
menakhlukkannya. Bromo was easy to reach, but he was not easy as you think,
batinnya.
***
Minggu lalu, 7 Agustus 2016, ia pulang.
Kembali ke kota besar. Meninggalkan kenangan yang ia raih di sana. Mengungkapkan
rasa yang belum pernah ia rasakan. Ia kembali hanyut dalam perjalanan pulang,
kurang lebih dua belas jam perjalanan. Kembali menikmati hiruk-pikuk kota besar
yang akan membawa angannya untuk kembali pada sebuah realita. Bersama mereka
dan bersamanya selama satu setengah bulan bukanlah hal yang singkat. Rasa
terima kasih muncul dibenaknya. Ini liburan yang luar biasa baginya.
Menghantarkannya pada angan yang belum pernah ia bayangkan.
Bromo, menjadi salah satu tempat yang
istimewa di hatinya. Menyegarkan semua pilihannya yang tidak akan ia temui di kota
besar. Bromo, aku akan kembali, begitu mungkin yang ingin ia katakan. Saatnya
ia harus kembali. Menghadapi tantangan yang tidak seindah dirinya. Meluangkan
waktu sejenak untuk berkata di dalam hati,
"Aku siap untuk tantangan
selanjutnya yang Ia berikan."
*Inspired story by Bangkit Kristianto
*Photos by: Bangkit Kristianto
*In frame: Bangkit Kristianto
*Inspired story by Bangkit Kristianto
*Photos by: Bangkit Kristianto
*In frame: Bangkit Kristianto
Maria Ardianti Kurnia Sari
Yogyakarta, 12 Agustus 2016
23:24 WIB